Lahan kritis merupakan masalah serius yang perlu ditangani, karena dapat menimbulkan berbagai masalah seperti menurunnya produktivitas lahan, kerusakan lingkungan, dan menurunnya daya dukung ekosistem. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mencegah dan memulihkan lahan kritis melalui program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Melalui identifikasi lahan kritis, data yang ada dapat membantu dalam menentukan lokasi dan jenis upaya yang harus dilakukan untuk memulihkan dan mempertahankan fungsinya. Dalam hal ini, metode perhitungan lahan kritis yang dilakukan harus tepat dan akurat. Data-data yang dibutuhkan, seperti peta tutupan lahan, peta erosi, peta lereng, dan peta fungsi kawasan hutan, harus diperoleh dari sumber yang terpercaya dan aktual.
Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa pada tahun 2000, luas lahan kritis nasional mencapai 14,9 juta hektare (ha). Luasan tersebut tersebar di kawasan hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi, dan di luar kawasan hutan. Jika tidak dilakukan tindakan untuk mencegah lahan kritis, maka luasan tersebut akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada scenario baseline diproyeksikan bahwa luas lahan kritis akan meningkat menjadi 19 juta ha di tahun 2024 dan menjadi 21 juta ha di tahun 2030. Jumlah luas lahan kritis bahkan diproyeksikan bisa mencapai 24 juta ha pada tahun 2045 jika tidak ada tindakan lanjutan.
Dengan memahami kondisi dan luasan lahan kritis ini akan membantu dalam merencanakan dan menentukan strategi dan upaya yang tepat untuk memulihkan dan mempertahankan fungsinya. Program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) sangat penting untuk memastikan bahwa hutan dan lahan dapat berfungsi dengan baik sebagai penyangga kehidupan dan mempertahankan produktivitasnya.