Indonesia memiliki potensi energi geothermal yang besar, dengan kapasitas terpasang sekitar 2,3 GW pada tahun 2021. Sumber daya geothermal Indonesia sebagian besar masuk dalam kategori suhu tinggi, sehingga memungkinkan pengembang untuk mengadopsi teknologi flash atau dry yang memerlukan biaya investasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan teknologi siklus biner pada suhu rendah.
Pembangkit listrik geothermal juga tergolong sebagai teknologi rendah karbon yang diasumsikan tidak menghasilkan emisi, meskipun ada pelepasan CO2 dan H2S dari reservoir geothermal yang kecil, sekitar 42–73 gCO2/kWh dari pengujian di tiga lokasi di Indonesia.
Namun demikian, pengembangan PLTP memiliki kendala biaya konstruksi yang tinggi karena lokasi sumber panas bumi yang umumnya jauh dari beban listrik, serta biaya pembangunan jaringan transmisi. LCOE PLTP adalah Rp977,600/kWh dan Rp1,222,000/kWh untuk tipe besar dan kecil.
Tipe besar adalah PLTP dengan teknologi flash atau kering, dengan kapasitas per unit sekitar 55 MW, sedangkan tipe kecil menggunakan teknologi biner dengan kapasitas penghasilan sekitar 10 MW. Dalam memperkirakan LCOE dari kedua teknologi ini, CF yang digunakan adalah sama, yaitu 80%. Namun, biaya investasi PLTP besar 20% lebih rendah dari pesaingnya.
Kendala lain dalam pengembangan PLTP adalah biaya eksplorasi, karakterisasi situs, dan pengeboran (sering disebut sebagai "biaya subpermukaan") yang tidak pasti dan dapat meningkatkan biaya pengembangan PLTP.
Namun, nilai LCOE dari PLTP diproyeksikan akan turun secara signifikan. PLTP besar dan kecil diproyeksikan akan memiliki LCOE sebesar Rp663,200/kWh dan Rp842,000/kWh masing-masing pada tahun 2050. Biaya investasi untuk kedua teknologi tersebut diharapkan akan menurun sekitar 29%. Pada saat itu, PLTP akan menjadi pilihan yang lebih murah dibandingkan dengan pembangkit listrik thermal.