Berdasarkan Laporan Kementerian LHK Tahun 2023, indeks kualitas udara Indonesia terus mengalami perbaikan selama 5 tahun terakhir. Pada tahun 2023, Indeks Kualitas Udara (IKU) bernilai 88,67. Nilai tersebut meningkat sebesar 4,64% dibandingkan nilai IKU tahun 2018 yang sebesar 84,74.
Nilai IKU sempat mengalami fluktuasi sepanjang tahun 2015 hingga 2017. Berdasarkan Laporan Kementerian LHK Tahun 2017, fluktuasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan emisi akibat kebakaran hutan dan perbedaan jumlah data.
Pada tahun 2017, luas hutan dan lahan yang mengalami kebakaran adalah 124.743 hektare. Jumlah ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan tahun 2016 yang mencapai 438.363 hektare dan tahun 2015 yang mencapai 2.611.411 hektare. Selain itu, curah hujan pada tahun 2017 secara umum juga lebih tinggi dibanding tahun 2016.
Lebih lanjut, perbedaan jumlah data juga mempengaruhi fluktuasi nilai IKU. Berdasarkan Laporan Kementerian LHK Tahun 2018, penurunan IKU tahun 2018 sebesar 2,29 poin dari tahun 2017 disebabkan oleh penambahan jumlah kabupaten/kota dari 400 menjadi 419, dan penambahan pemantauan mandiri yang dilakukan oleh kabupaten/kota dari 6 kabupaten/kota menjadi 48 kabupaten/kota.
Nilai IKU nasional dihitung dari hasil pengukuran kualitas udara ambien di masing-masing kabupaten/kota. Setiap kabupaten/kota melakukan pengukuran kualitas udara ambien pada 4 lokasi yang mewakili wilayah industri, pemukiman, transportasi, dan perkantoran.
Indeks Kualitas Udara versi Kementerian LHK didapatkan dari rerata hasil pengukuran kadar Sulfur Dioksida (SO₂) dan Nitrogen Dioksida (NO₂). Metodologi perhitungan IKU diadopsi dari proyek European Union berjudul CAQI Air Quality Index: Comparing Urban Air Quality across Borders-2012. Kemudian, hasil rerata pengukuran SO₂ dan NO₂ dibandingkan dengan standar referensi EU, lalu dikonversi menjadi indeks.
Meskipun begitu, relevansi perhitungan IKU dengan kondisi aktual masih perlu dikaji lebih lanjut. Mengutip dari Peraturan Menteri LHK No. 14 Tahun 2020, kondisi mutu udara ambien kini ditetapkan menggunakan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Namun, hingga Laporan Kementerian LHK Tahun 2023 terbit, data agregasi ISPU masih belum ditemukan sehingga kualitas udara nasional masih mengacu pada hasil kalkulasi IKU.
Apa perbedaan IKU dan ISPU?
Dari segi parameter yang dipertimbangkan, IKU diukur berdasarkan kadar SO₂ dan NO₂. Sementara itu, ISPU mempertimbangkan seluruh parameter pencemar udara, yang tidak terbatas pada SO₂ dan NO₂ saja, melainkan juga PM10, PM2.5, CO, O3, dan HC.
Nilai IKU dianggap semakin ideal apabila mendekati 100. Semakin tinggi nilainya, dianggap semakin baik. Klasifikasi kategori nilai disesuaikan dengan ketentuan IKLH Indonesia 2014. Sementara itu, Klasifikasi ISPU memiliki nilai ideal apabila berada pada rentang 1 sampai 50. Semakin tinggi nilainya, maka dianggap semakin berbahaya.
Baca Juga: Indeks Kualitas Air di Indonesia Berhasil Mencapai Nilai Tertinggi di Tahun 2022