Berdasarkan laporan Indikator Kesejahteraan Rakyat 2024 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), angka putus sekolah di tahun ajaran 2023/2024 tercatat mengalami peningkatan di seluruh jenjang dibanding tahun ajaran sebelumnya, kecuali di tingkatan SMA.
Pada tahun ajaran 2022/2023, angka putus sekolah tingkat SD mencapai 0,17%. Nilainya kemudian naik di tahun ajaran ini menjadi 0,19%. Adapun untuk jenjang SMP, angka putus sekolah mencapai 0,18% di tahun ajaran 2023/2024, naik dari 0,14% di tahun sebelumnya.
Lebih lanjut, penurunan angka putus sekolah terjadi di jenjang SMA, dari 0,20% di tahun ajaran 2022/2023 menjadi 0,19% di tahun ajaran berikutnya. Di tingkatan SMK, kembali terjadi peningkatan angka putus sekolah dari 0,23% menjadi 0,28%.
BPS juga mencatat angka mengulang pada siswa sekolah. Angka tertinggi ada pada tingkat SD dengan angka mengulang sebesar 0,46%, kemudian disusul oleh tingkatan SMK dengan 0,27%, SMP dengan 0,19%, dan SMA dengan 0,18%.
Angka putus sekolah adalah persentase atau jumlah siswa yang berhenti bersekolah sebelum menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Angka ini sering digunakan sebagai indikator untuk menilai kualitas sistem pendidikan di suatu wilayah.
Menurut Dewi dkk. dalam Maghfirah (2019), ada beberapa faktor yang mendorong seorang anak putus sekolah, seperti kondisi ekonomi, perhatian orang tua, fasilitas pembelajaran, minat anak untuk sekolah, budaya, dan lokasi sekolah. Ketidakmampuan orang tua untuk membiayai pendidikan anak membuat mereka harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga sehingga sekolahnya terabaikan.
Rendahnya tingkat pendidikan dapat memperbesar risiko kemiskinan, ketidaksetaraan, dan berbagai masalah sosial lainnya. Kurangnya pendidikan berkualitas pada sebagian besar masyarakat juga dapat memperlambat perkembangan ekonomi, produktivitas, dan inovasi nasional. Apalagi, masa depan bangsa sangat bergantung pada generasi muda saat ini.
Baca Juga: Upaya Membangun Pendidikan yang Merata: Hanya 66% Warga Indonesia yang Lulus Hingga Jenjang SMA