Berdasarkan laporan The Sustainable Development Goals Report 2024 oleh United Nation (UN), sebanyak 30,6% industri berskala kecil di dunia tercatat melakukan pinjaman atau kredit. Proporsi tertinggi ditemukan di Amerika Latin dan Karibia, yaitu mencapai 45,4%. Posisi kedua diisi oleh Oseania, dengan 45% industri skala kecil melakukan pinjaman di sana.
Sementara itu, dua benua terbawah dalam daftar itu adalah Asia Timur-Tenggara dengan proporsi sebesar 19,5% dan Afrika Sub-Sahara dengan 16,9% usaha kecilnya yang melakukan pinjaman jalur kredit.
Dilansir dari UN Stats, akses terhadap kredit sangat penting bagi usaha kecil, tetapi sayangnya hanya sebagian kecil yang mampu memperolehnya.
Perusahaan kecil merupakan salah satu tulang punggung perekonomian di seluruh dunia, yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat.
Meskipun memainkan peran penting dalam menutup kesenjangan ekonomi dan sosial, industri kecil menghadapi berbagai tantangan pascapandemi, termasuk peningkatan biaya operasional akibat inflasi energi dan transportasi, serta tingginya suku bunga pinjaman. Hal ini terjadi terutama di negara-negara berpenghasilan rendah. Perusahaan kecil menanggung beban karena kerentanan mereka yang lebih besar.
Akses ke kredit, yang penting untuk kelangsungan perusahaan, tetap sulit diperoleh. Perusahaan membutuhkan dana untuk menjaga kelancaran operasional sehari-hari. Pinjaman kredit dapat membantu perusahaan membayar gaji karyawan, membeli bahan baku, atau membayar pemasok sembari menunggu pembayaran dari pelanggan.
Perusahaan yang ingin memperluas operasinya, seperti membuka cabang baru, meningkatkan kapasitas produksi, atau memasuki pasar baru, membutuhkan modal yang lumayan. Pinjaman kredit membantu membiayai proyek tanpa harus menunggu hingga perusahaan memiliki dana yang cukup dari pendapatan internal.
Baca Juga: Lebih dari 2 Juta Masyarakat Indonesia Bermasalah dalam Pembayaran Pinjol
