Internet kini semakin mudah dijangkau di seluruh Indonesia, termasuk di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Wilayah 3T merujuk pada daerah yang masih memiliki banyak keterbatasan akses, termasuk sarana dan prasarana. Mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2020, ada 62 kabupaten yang masuk kategori ini, sebagian besar berada di kawasan Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) pada Juli-September 2024, sekitar 82,6% atau 8.144,273 dari 9.823,573 masyarakat di wilayah 3T sudah terhubung dengan internet. Namun, masih ada sekitar 17,4% masyarakat yang belum dapat mengaksesnya, menunjukkan adanya tantangan dalam pemerataan teknologi di daerah-daerah tersebut. Survei ini dilakukan dengan metode pengisian formulir secara langsung dan daring.
Sebanyak 47,6% masyarakat di wilayah 3T mengaku menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Aktivitas ini menjadi alasan utama mereka mengakses internet. Tidak heran, media sosial sekarang bukan hanya sekadar sarana hiburan, tapi juga menjadi media komunikasi, berbagi informasi, bahkan peluang ekonomi. Selain itu, masyarakat di wilayah 3T juga menggunakan internet untuk mengakses layanan publik dan menikmati konten hiburan.
Hasil ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Populix pada tahun 2022, yang menemukan bahwa alasan utama masyarakat Indonesia mengakses media sosial adalah untuk mencari informasi terbaru, menghabiskan waktu, dan berinteraksi dengan teman atau kolega.
Pemerintah melalui Kemkomdigi terus berupaya memperluas akses internet di wilayah 3T. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah pembangunan 118 menara BTS di Papua, dengan target menjangkau 1.000 desa terpencil pada 2025.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Republik Indonesia, Meutya Hafid, dalam siaran pers di kanal resmi Kemkomdigi pada 31 Desember 2024. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan kesetaraan digital, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan, mulai dari bidang pendidikan, pekerjaan, hingga pelayanan publik.
“Konektivitas inklusif adalah kunci keadilan digital. Semua masyarakat, tanpa terkecuali, harus merasakan manfaat dari teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan,” terang Meutya Hafid.
Sebagai informasi, menurut data APJII pada tahun 2024, sekitar 79,5% populasi Indonesia, atau lebih dari 221 juta orang, sudah terhubung dengan internet. Angka ini terus meningkat setiap tahunnya, yang menunjukkan bahwa internet kini telah menjadi kebutuhan esensial. Singkatnya, peran internet di wilayah 3T tidak hanya sebatas sebagai alat konektivitas, tapi juga sebagai jembatan untuk meraih kesejahteraan yang lebih baik.
Baca Juga: Apa Alasan Utama Masyarakat Indonesia Menggunakan Media Sosial?