Ramai Kasus Tom Lembong, Berikut Data Impor Gula 10 Tahun Terakhir

Impor gula Indonesia terus mengalami fluktuasi selama 2015–2024, sejak 2020 impor selalu berada di atas 5 juta ton.

Data Impor Gula Indonesia 2015-2024

Ukuran Fon:

Kasus hukum yang menjerat Thomas Lembong kembali memicu sorotan tajam terhadap praktik impor gula nasional. Setelah divonis bersalah oleh pengadilan, publik ramai membahas kembali kebijakan-kebijakan impor di masa lalu. Peristiwa ini membuka ruang refleksi atas tata kelola perdagangan pangan yang belum sepenuhnya transparan. Untuk memahami konteks lebih dalam, mari simak data impor gula Indonesia dari 2015 hingga 2024 serta keterkaitannya dengan periode para Menteri Perdagangan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa impor gula Indonesia terus mengalami fluktuasi dalam satu dekade terakhir. Kebijakan impor gula dalam satu dekade terakhir tidak lepas dari arah dan keputusan politik ekonomi masing-masing Menteri Perdagangan yang menjabat. Setiap periode membawa pendekatan dan justifikasi yang berbeda, tergantung pada kondisi pasar global, tekanan industri dalam negeri, dan pertimbangan politik.

Pada masa Tom Lembong (2015–2016), volume impor naik dari 3,38 juta ton pada 2015 menjadi 4,77 juta ton pada tahun berikutnya. Saat itu, Lembong mendorong kebijakan impor gula kristal mentah untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman yang terus bertumbuh. Namun, kebijakan tersebut kini menjadi sorotan setelah ia divonis dalam kasus penyimpangan impor.

Ketika Enggartiasto Lukita menjabat (2017–2019), arah kebijakan impor tetap terbuka, dengan total impor selama tiga tahun mencapai 13,59 juta ton. Angka ini merupakan yang tertinggi secara kumulatif dibanding periode menteri lainnya. Pemerintah saat itu beralasan bahwa impor dilakukan guna menjaga ketersediaan stok dan kestabilan harga, meskipun sempat menimbulkan kritik karena dinilai merugikan petani tebu lokal.

Kemudian ketika pandemi di tahun 2020, Agus Suparmanto yang menjabat dalam waktu singkat, tetap melanjutkan pola impor sebelumnya dengan volume mencapai 5,54 juta ton. Tidak banyak kebijakan baru yang diinisiasi karena masa jabatannya berdekatan dengan awal pandemi COVID-19.

Selanjutnya, di bawah Muhammad Lutfi (2021–2022), impor kembali melonjak. Lutfi dikenal sebagai figur yang dekat dengan dunia usaha dan pro-pasar, sehingga kebijakannya fokus pada kelancaran rantai pasok. Tahun 2022 mencatat rekor tertinggi dengan 6 juta ton gula diimpor, dan total selama dua tahun mencapai 11,49 juta ton.

Tahun 2023 dan 2024 berada di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan, yang melanjutkan kebijakan impor dengan jumlah masing-masing 5,07 juta ton dan 5,31 juta ton. Meski volume sedikit naik pada 2024, nilai impornya mencatat rekor tertinggi, yakni US$3,03 miliar. Zulkifli Hasan berulang kali menyatakan bahwa impor tetap diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara produksi dan konsumsi nasional, terutama dalam konteks inflasi pangan.

Jika dilihat secara keseluruhan, data ini mengindikasikan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada impor gula, terlepas dari siapa pun yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Fluktuasi volume dan nilai menunjukkan pengaruh faktor eksternal seperti harga pasar global, iklim produksi lokal, serta dinamika kebutuhan industri.

Baca Juga: Tom Lembong dan Rangkaian Aktivitas Impor Gula dari Tahun ke Tahun

Sumber:

https://www.bps.go.id/id/publication/2025/02/28/8cfe1a589ad3693396d3db9f/statistik-indonesia-2025.html

https://www.bps.go.id/id/publication/2020/04/29/e9011b3155d45d70823c141f/statistik-indonesia-2020.html

Catatan: nilai CIF mencakup harga beli berikut biaya asuransi dan pengiriman. Volume yang digunakan adalah berat bersih (net weight).

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook