Melihat luasnya wilayah Indonesia, tidak mengherankan apabila jumlah bahasa daerahnya sangat berlimpah. Indonesia bahkan dinobatkan sebagai negara dengan keragaman bahasa terbesar kedua di dunia setelah Papua Nugini. Sejumlah 718 bahasa telah teridentifikasi dan terverifikasi.
Sayangnya, kekayaan bahasa tersebut tidak mengalami pelestarian yang maksimal. Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti globalisasi, urbanisasi, pergeseran sikap berbahasa, dan juga kecenderungan untuk berada dalam situasi satu bahasa saja (monolingual).
Akibatnya, beberapa bahasa daerah Indonesia memiliki vitalitas atau tingkat hidup yang rendah. Vitalitas sebuah bahasa sendiri dibagi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjadi enam kategori: aman, rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, dan punah. Kriteria dalam kategori tersebut mengacu pada skala vitalitas dari 0-1, dengan beberapa indikator seperti jumlah penutur dan usia penutur.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mencatat, ada 18 bahasa daerah dalam kategori aman, 27 bahasa dalam kategori rentan, dan 29 bahasa dalam kategori mengalami kemunduran. Selanjutnya, 26 bahasa termasuk dalam kategori terancam punah, 8 bahasa dalam kategori kritis, dan 5 bahasa dalam kategori punah. Sejauh ini, per 2021, baru 115 bahasa yang dikaji vitalitasnya, sekitar 15% dari total bahasa daerah.
Beberapa bahasa daerah yang dikategorikan aman adalah bahasa Asmat dari Papua, bahasa Bugis dari Sulawesi, dan bahasa Madura dari Jawa Timur. Sementara itu, bahasa daerah yang masuk dalam kategori rentan contohnya bahasa Dondo dari Sulawesi Tengah, bahasa Gayo dari Aceh, dan bahasa Kerinci dari Sumatra.
Di dalam kategori mengalami kemunduran, terdapat bahasa Buru dari Maluku, bahasa Nias dari Kepulauan Nias, dan bahasa Bekatik dari Kalimantan Barat. Kemudian, kategori terancam punah meliputi bahasa Awban dari Papua, bahasa Adang dari Nusa Tenggara Timur, dan bahasa Enggano dari Bengkulu.
Bahasa daerah yang termasuk dalam kategori kritis mencakup bahasa Mansim Borai dari Papua, bahasa Letti dari Maluku, dan bahasa Retta dari Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, bahasa yang telah punah di antaranya bahasa Tandia dari Papua Barat, bahasa Piru asal Maluku, dan bahasa Mawes dari Papua.
Dalam menanggapi fenomena ini, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya adalah dengan menggalakkan gerakan Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD).
Melalui RBD, para pemangku kebijakan diharapkan mampu berkolaborasi guna mengedepankan vitalitas bahasa daerah. Jika gerakan tersebut terus diutamakan, bukan tidak mungkin kelestarian serta keberagaman bahasa daerah di Indonesia dapat terus terjaga.