Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru salah satunya menilik riwayat pengalaman politik uang yang terjadi di kehidupan masyarakat.
Politik uang adalah praktik pertukaran suara pemilih dengan sesuatu (uang, barang, atau jasa) yang ditawarkan kandidat, broker suara, atau tim pemenangan (Heywood, 2014 dalam Erviantono, 2017). Dalam survei SPAK 2022, praktik politik uang merujuk pada praktik di masa pelaksanaan Pilkades / Pilkada / Pemilu periode terakhir.
Hasil SPAK 2022 menunjukkan bahwa hanya 11,88% di antaranya pernah mendapat tawaran uang / barang / fasilitas untuk memilih kandidat tertentu dalam pilkades / pilkada / pemilu terakhir, sedangkan 47,99% tidak menghadapi penawaran tersebut.
Kabar baiknya, persentase pengalaman ini terus menurun dibanding dengan tahun 2020 (27,09%) dan 2021 (16,70%). Artinya, praktik politik uang di kalangan masyarakat terus menurun dari tahun ke tahun.
Namun, jika meninjau praktik politik uang yang terjadi, dari 11,88% responden tersebut sebanyak 75,22% di antaranya masih menerima penawaran yang diberikan, secara sukarela (56,82%) maupun terpaksa (18,4%).
Sekitar 24,78% sisa responden lainnya menolak penawaran yang diberikan, baik secara halus maupun tegas.
Meski demikian, dalam hal tanggapan terhadap politik uang, mayoritas responden sudah memiliki rasa tidak wajar akan ajakan berpartisipasi dalam kampanye politik demi imbalan (77,44%), sikap peserta pilkades / pilkada / pemilu yang melakukan politik uang (75,50%), maupun calon pemilih menerima tawaran politik uang (65,52%).
Dilansir dari laman KPK (17/2), Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, berpesan, “Pilihlah pemimpin dan wakil rakyat dari figur-figur yang berintegritas. Masyarakat harus cerdas memilih, jangan terbuai dengan uang dan menggadaikan suara mereka. Pilih yang berintegritas, bukan isi tas.”