Perceraian di Indonesia kini menunjukkan tren baru, di mana cerai gugat yang diajukan oleh istri menjadi lebih dominan dibanding cerai talak yang diajukan oleh suami. Fenomena ini mencerminkan perubahan dinamika dalam rumah tangga dan peran perempuan dalam mengambil keputusan penting dalam kehidupan pernikahan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, Jawa Barat mencatat jumlah cerai gugat tertinggi di Indonesia, dengan total 68.968 kasus. Posisi ini diikuti oleh Jawa Timur dengan 58.679 kasus dan Jawa Tengah dengan 50.783 kasus. Tingginya angka di ketiga provinsi ini sejalan dengan jumlah penduduk yang besar, di mana Jawa Barat menjadi provinsi terpadat dengan total penduduk mencapai 50,64 juta jiwa.
Beberapa faktor utama yang mendorong peningkatan angka cerai gugat di Indonesia mencerminkan kompleksitas dinamika dalam rumah tangga. Masalah ekonomi menjadi salah satu pemicu terbesar, di mana kesulitan finansial kerap menimbulkan konflik berkepanjangan antara pasangan. Selain itu, perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus akibat komunikasi yang buruk serta ketidakcocokan karakter juga turut memperburuk kondisi hubungan.
Tak jarang, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baik secara fisik maupun psikologis mendorong istri untuk mengambil langkah hukum demi keselamatan dan kenyamanan dirinya. Di sisi lain, pernikahan yang dilakukan pada usia muda, ketika kesiapan emosional dan mental belum matang, juga menjadi penyebab banyaknya perceraian karena pasangan belum mampu menghadapi tantangan rumah tangga secara dewasa.
Tingginya angka cerai gugat di Indonesia menjadi perhatian serius pemerintah, terutama Kementerian Agama. Data menunjukkan bahwa mayoritas perceraian terjadi pada pasangan usia muda yang usia pernikahannya belum genap lima tahun. Melihat tren ini, Menteri Agama Nasaruddin Umar mendorong optimalisasi peran Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4).
Menag mengatakan badan binaan Kementerian Agama (Kemenag) ini memiliki misi besar untuk membantu menyelesaikan konflik keluarga secara damai dan konstruktif, tanpa harus melalui proses pengadilan. Ia lanjut menambahkan perceraian berdampak sistematis terhadap bangsa. Menurut Menag, perceraian dapat menciptakan kemiskinan baru, utamanya bagi perempuan dan anak-anak.
"Tidak mungkin masyarakat berantakan bisa melahirkan masyarakat ideal. Tidak mungkin masyarakat berantakan bisa melahirkan negara ideal. Jadi jika ingin mempertahankan negara, bangsa, masyarakat, maka rumah tangga ini harus kuat," ujar Nasaruddin Umar, Menteri Agama saat membuka Rakernas Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) di Jakarta, pada Selasa (22/4/2025) mengutip Antara.
Baca Juga: Kemenag Sarankan Kursus Calon Pengantin Selama 1 Semester untuk Cegah Perceraian