Menurut proyeksi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2022, terdapat proyeksi pemasangan minimum kapasitas BESS sebesar 56 GW pada tahun 2060. Produksi baterai dalam negeri sekarang terlihat mampu memenuhi permintaan tersebut. Sebagai contoh, IBC sendiri dapat memproduksi baterai sebesar 50 GWh pada tahun 2030 hanya untuk tujuan ekspor.
Namun, perlu diperhatikan bahwa BESS terdiri dari berbagai jenis komponen seperti kemasan baterai, sistem manajemen baterai (BMS), dan keseimbangan sistem (BoS), yang berbeda dengan komponen yang terdapat pada EV. Hal ini mungkin akan membuat harga BESS lebih mahal karena skala ekonominya yang lebih rendah. Oleh karena itu, industri dalam negeri perlu mengembangkan rantai pasokan dan meningkatkan kapasitasnya untuk memproduksi komponen non-sel untuk BESS.
Stakeholder di Indonesia perlu menyadari bahwa pabrik baterai skala besar yang sedang dikembangkan saat ini menggunakan bahan dasar nikel. Baterai yang berbasis nikel sekitar 20% lebih mahal daripada baterai bebas nikel seperti baterai lithium-ion fosfat (LFP), yang dianggap lebih cocok untuk aplikasi stasioner karena daya tahan baterainya yang lebih lama.
Meskipun produsen baterai domestik memperkirakan akan ada pengurangan harga 30% dari produksi domestik baterai berbasis nikel, ada baiknya mempertimbangkan untuk membangun industri hulu untuk menghasilkan produk sampingan, karena jalur produksinya yang relatif sama untuk baterai lithium-ion dengan kimia yang berbeda.