Pada tahun 2020, alokasi anggaran nasional untuk aksi iklim mencapai Rp77,82 triliun, dengan Rp33,30 triliun untuk adaptasi dan Rp41,65 triliun untuk mitigasi. Namun, laporan awal Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa anggaran mitigasi dan adaptasi pada 2021 hanya sebesar Rp11,80 triliun dan Rp89,04 triliun.
Selama periode 2018-2020, rata-rata anggaran publik untuk mitigasi iklim dari semua sektor mencapai Rp56,8 triliun (USD 3,8 miliar). Anggaran publik ini hanya sebesar USD 67 juta per tahun dari Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM, sebagai perbandingan. Jika tren ini terus berlanjut hingga 2025, anggaran pemerintah hanya akan mencapai 0,83% dari USD 8 miliar yang diperlukan setiap tahun untuk mencapai target NDC tanpa syarat sebesar 29%. Oleh karena itu, diperlukan sumber pembiayaan non-publik untuk mengisi kesenjangan pembiayaan.
Pada tahun 2021, anggaran Direktorat Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM adalah Rp539,4 miliar, dengan lebih dari 75% anggaran tersebut digunakan untuk belanja infrastruktur. Namun, anggaran publik ini sebagian besar digunakan untuk mendanai tiga pembangkit listrik tenaga sampah, proyek co-firing biomassa di 27 PLTU, eksplorasi panas bumi, pembangkit listrik tenaga surya di 25 lokasi, distribusi bola lampu tenaga surya, dan instalasi penerangan jalan tenaga surya. Pemerintah perlu menggunakan anggarannya untuk menarik investasi energi terbarukan, seperti melalui insentif fiskal yang efektif, subsidi untuk bunga pinjaman, dan suntikan modal ke lembaga keuangan.
Studi juga menganalisis tiga provinsi dengan anggaran fiskal tertinggi kecuali DKI Jakarta, dan Jawa Tengah menduduki peringkat pertama dalam pengeluaran anggaran publik untuk pengembangan energi terbarukan, diikuti oleh Aceh dan Jawa Timur. Namun, porsi belanja APBD untuk ET pada tahun 2021 masih sangat kecil (kurang dari 0,1%) dibandingkan dengan total APBD provinsi tersebut pada tahun yang sama.