Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah baru-baru ini menandai dibukanya babak baru dalam skema politik Indonesia. Perubahan ini memengaruhi berbagai aspek dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), mulai dari strategi partai politik hingga dinamika kompetisi antar kandidat.
Melalui keputusan MK tersebut, aturan ambang batas pencalonan dijabarkan lebih jelas, dimana partai atau gabungan partai harus memenuhi syarat minimal untuk mengusung calon gubernur di masing-masing provinsi di Indonesia.
Pelaksanaan putusan ini menuai berbagai kontroversi, tak terkecuali dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang berusaha untuk menganulir putusan ini. Hal ini turut memicu aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia di berbagai tempat.
Putusan MK ini sebenarnya mengatur ambang batas untuk pencalonan gubernur di berbagai provinsi. Angka ambang batas tersebut ditentukan berdasarkan jumlah penduduk di provinsi tersebut.
MK menjelaskan bahwa untuk mencalonkan gubernur di provinsi yang memiliki kurang dari 2 juta penduduk, partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki 10% dari suara sah di provinsi tersebut. Selanjutnya, partai politik memerlukan 8,5% suara sah pada provinsi yang memiliki penduduk antara 2 juta sampai 6 juta jiwa.
Selebihnya, partai politik memerlukan 7,5% di provinsi dengan jumlah penduduk sebanyak 6 juta sampai 12 juta. Terakhir, provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta jiwa harus memperoleh 6,5% suara sah untuk dapat mencalonkan kepala daerah.
Baca Juga: Jadi Pilkada Terbesar Sepanjang Sejarah, Berapa Anggaran Pilkada Serentak 2024?