Di tengah ketidakstabilan kondisi perekonomian global, generasi Z kini menghadapi tantangan sulitnya membangun karier yang mapan. Kompetensi unggulan dibutuhkan agar bisa relevan dengan kebutuhan industri yang amat dinamis. Namun, persoalannya ternyata lebih kompleks sebab lapangan pekerjaan yang tersedia kurang memadai sehingga pasar kerja pun kian kompetitif.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2024 didominasi oleh angkatan kerja berusia muda atau 15-24 tahun, jumlahnya mencapai 17,32%. Ini berarti di antara 100 angkatan kerja di kelompok usia tersebut, ada kurang lebih 17 orang yang menganggur. Hal ini mencerminkan besarnya tenaga kerja yang tidak terserap pasar kerja.
Namun, di samping faktor eksternal, ternyata ada pula hal-hal dari dalam diri gen Z yang menghambat mereka mendapat pekerjaan. Gen Z memang dianggap memiliki reputasi yang kurang baik, seperti kurang kompeten dan sulit diajak bekerja sama.
Hal ini sedikit banyak digambarkan oleh hasil survei situs Resume Templates pada April lalu. Survei tersebut melibatkan 1.428 responden gen Z Amerika Serikat berusia 18-27 tahun yang tengah mencari pekerjaan dalam kurun waktu setahun terakhir.
Hasil survei menunjukkan bahwa 70% responden mengandalkan bantuan orang tua selama proses pencarian kerja, 23% di antaranya bahkan mengaku sering melakukannya. Menariknya, sebanyak 69% responden yang dibantu orang tuanya berkata berhasil memperoleh pekerjaan.
“Jumlah peluang kerja dan kompleksitas pasar kerja adalah faktor yang menyebabkan gen Z mencari bantuan orang tua,” tutur Penulis Resume Eksekutif Resume Templates, Andrew Stoner.
Ada beragam andil yang gen Z butuhkan dari orang tuanya, mayoritas (60%) adalah mencarikan lowongan pekerjaan. Kelompok ini mengaku bahwa orang tua mereka mencarikan pekerjaan melalui sumber daring (70%), koneksi pribadi (53%), jaringan (31%), dan career fair (23%).
Tidak hanya itu, responden juga menyerahkan beberapa persiapan kerja mendasar kepada orang tuanya, mulai dari membuat resume (55%), membuat surat lamaran (49%), berkorespondensi dengan manajer perekrutan (36%), mengajukan lamaran kerja (17%), hingga menangani panggilan HR (13%). 1 dari 4 (26%) responden bahkan mengajak orang tuanya ketika wawancara.
Adapun alasan mengapa mereka memerlukan campur tangan orang tuanya meliputi kepercayaan bahwa orang tua mereka lebih kompeten, tidak mempunyai keahlian komunikasi yang baik, kurang termotivasi, kesehatan mental buruk, dan kurangnya pengetahuan dalam menyusun berkas lamaran.
Alasan-alasan tersebut tampak sejalan dengan hasil survei lain dari Intelligent terhadap 966 pemimpin bisnis yang terlibat dalam keputusan perekrutan gen Z lulusan perguruan tinggi. Survei tersebut menunjukkan bahwa mayoritas (62%) perusahaan yang merekrut gen Z mengaku tidak puas dengan kinerja mereka.
Responden menilai bahwa pekerja gen Z cenderung kurang motivasi atau inisiatif (50%), tidak komunikatif (39%), kurang profesional (46%), sulit menerima umpan balik (38%), dan tidak punya kemampuan pemecahan masalah yang baik (34%).
“Meskipun mereka mungkin memiliki beberapa pengetahuan teoritis dari perguruan tinggi, mereka sering tidak memiliki pengalaman praktis dunia nyata dan soft skill yang diperlukan untuk berhasil di lingkungan kerja. Faktor-faktor ini, dikombinasikan dengan harapan pekerja berpengalaman, dapat menciptakan tantangan bagi lulusan baru dan perusahaan tempat mereka bekerja,” ungkap Kepala Penasihat Pendidikan dan Pengembangan Karir Intelligent, Huy Nguyen.
“Sangat mudah bagi manajer untuk melabeli stereotip khas gen Z dan mengabaikannya sama sekali. Namun, perusahaan memiliki tanggung jawab yang sama dalam mempersiapkan lulusan baru untuk tempat kerja khusus mereka dan memberi mereka kesempatan terbaik untuk berhasil,” tambahnya.
Baca Juga: Mitos atau Fakta: Lulusan Sarjana di Kalangan Gen Z Makin Sulit Dapat Kerja