Kasus penyelundupan komoditas masih marak terjadi di Indonesia, melibatkan sejumlah komoditas strategis bagi ekonomi nasional. Praktik penyelundupan menjadi ancaman serius bagi stabilitas keuangan Indonesia, dengan adanya kebocoran pendapatan yang seharusnya bisa diperoleh dari perpajakan, bea cukai, dan pengelolaan sumber daya alam.
Menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), nilai transaksi penyelundupan di Indonesia dari 2021 hingga Kuartal III 2024 mencapai Rp216,74 triliun.
Ditinjau berdasarkan komoditasnya, maka emas jadi komoditas dengan nilai transaksi penyelundupan tertinggi, mencapai Rp189,27 triliun dalam 3 tahun terakhir. Nilai ini menyumbang 87,55% dari total transaksi keseluruhan.
Selain emas, penyelundupan tekstil juga cukup masif, dengan nilai transaksi mencapai Rp16,51 triliun, setara dengan 7,64% dari total transaksi penyelundupan. Nikel menyusul di urutan ketiga dengan nilai transaksi penyelundupan mencapai Rp3,5 triliun.
Tumbuhan atau satwa liar masuk empat besar dengan nilai transaksi sebesar Rp2,38 triliun, setara dengan 1,1% dari total transaksi. Di peringkat kelima, tenaga kerja atau migran juga banyak menjadi korban penyelundupan, nilainya mencapai Rp1,19 triliun.
Komoditas lain dengan nilai transaksi penyelundupan tertinggi meliputi hasil hutan, kendaraan, BBM, obat ilegal, hingga rokok.
Komoditas di atas banyak diselundupkan lantaran nilai ekonomi dan permintaannya yang tinggi, sehingga juga berdampak signifikan terhadap industri dalam negeri.
Terbaru, dari Kuartal IV 2024 hingga awal 2025, PPATK mendeteksi adanya penyelundupan komoditas benih bening lobster ke Vietnam senilai Rp2,65 triliun.
Baca Juga: Ribuan Warga RI Jadi Korban Kasus TPPO Tiap Tahunnya