Ikut Tren atau Jaga Daya Beli? Dampak Buruk FOMO pada Ekonomi Rumah Tangga Indonesia

Konsumsi rumah tangga Indonesia tumbuh 4,91% di Q1 2024, tetapi FOMO meningkatkan risiko finansial dan ketidakcukupan pangan tetap menjadi tantangan serius.

Perbandingan Pengeluaran per Kapita Sebulan Makanan dan Bukan Makanan, dan Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan di Indonesia

Sumber: BPS (Badan Pusat Statistik)
GoodStats

Berdasarkan laporan Indonesia Economic Outlook Q3-2024 oleh LPEM Universitas Indonesia, konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,91% pada kuartal pertama 2024. Pemicu utama kondisi ini didorong oleh libur nasional dan bulan Ramadhan. Namun, fenomena ini juga banyak dipengaruhi oleh pola konsumsi Masyarakat atau Fear of Missing Out (FOMO), yakni sebuah kondisi takut ketinggalan tren.

Menurut artikel ilmiah yang dirilis oleh Royal Bank of Canada (RBC), dorongan untuk mengikuti tren berkat FOMO sering kali membuat masyarakat mengabaikan kemampuan keuangan mereka. Banyak orang yang nekat memaksakan konsumsi melalui kredit atau cicilan, meskipun hal ini bisa memperburuk kondisi finansial mereka. Ketika pengeluaran konsumtif tidak seimbang dengan pendapatan riil, risiko finansial yang dihadapi menjadi lebih tinggi.

Sementara masyarakat sibuk dengan gaya hidup konsumtif, terdapat kekhawatiran atas tingkat prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan di Indonesia yang masih sangat tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan mencapai 10,21% pada tahun 2022, meningkat dari 8,49% di tahun sebelumnya. Ini adalah capaian tertinggi dalam satu dekade terakhir, mengindikasikan bahwa kebutuhan pangan dasar masyarakat belum sepenuhnya terpenuhi.

Peningkatan prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan dari 7,63% pada 2019 menjadi 10,21% pada 2022 mengindikasikan adanya tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan dasar pada masyarakat. Dalam hal ini, banyak faktor pendorong kondisi tersebut, seperti distribusi pangan yang tidak merata atau adanya perubahan pola konsumsi pada masyarakat.

Disisi lain, data historis BPS menunjukkan bahwa persentase pengeluaran konsumsi pangan mengalami fluktuasi pada dekade terakhir. Pada 2014, pengeluaran konsumsi pangan mencapai 50,04%, sementara pada 2022, angka ini sedikit menurun menjadi 50,14%. Meskipun terjadi peningkatan kecil, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan justru meningkat, menandakan bahwa konsumsi pangan tidak seimbang dengan kebutuhan.

Menariknya, pada tahun 2017, BPS menampilkan statistik prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan turun drastis menjadi 8,23% dari 17,92% di tahun sebelumnya. Ini dapat disebabkan oleh kebijakan pemerintah atau program kesejahteraan masyarakat yang berhasil. Namun, peningkatan kembali prevalensi pada tahun-tahun berikutnya menunjukkan bahwa masalah ini belum sepenuhnya teratasi.

Oleh karena itu, perubahan konsumsi atau gaya hidup telah membawa dampak signifikan pada perilaku konsumsi masyarakat di Indonesia, dengan implikasi yang meluas pada kondisi keuangan dan ketahanan pangan. Keberadaan solusi kombinasi edukasi finansial, kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan, serta kesadaran yang lebih besar akan pentingnya konsumsi yang sehat dan seimbang menjadi hal yang penting dalam mengatasi tantangan ini.

Baca Juga: Mengapa Utang Negara Tidak Selalu Menyelamatkan Ekonomi Indonesia?

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook