Meskipun dewasa ini isu kesetaraan gender santer digaungkan, nyatanya diskriminasi terhadap perempuan masih kerap terjadi di berbagai lingkungan sosial, tidak terkecuali di tempat kerja. Diskriminasi tersebut bisa berupa ketimpangan gaji, pelecehan seksual, hambatan untuk meraih posisi yang lebih mapan, dan lain sebagainya.
Populix baru-baru ini menerbitkan hasil survei untuk melihat kondisi kesetaraan gender di tempat kerja. Seluruh responden merupakan pekerja perempuan dari berbagai kelas sosial yang mayoritas tinggal di Pulau Jawa.
Berdasarkan survei tersebut, perempuan yang mengaku pernah mengalami hal tidak mengenakkan selama bekerja masih terbilang tinggi, yaitu sebanyak 45%. Isu yang paling sering dialami adalah kesenjangan upah (pay gap) dan catcalling, masing-masing sebesar 48% dan 40%.
Kebijakan tempat kerja juga sering kali mengesampingkan hak-hak perempuan. Sebanyak 27% responden mengaku tidak mendapatkan cuti menstruasi. Ketika ditanya privilese apa yang mereka inginkan, cuti menstruasi dan fleksibilitas untuk bekerja di mana saja (work from anywhere) termasuk yang sering disebutkan.
Lebih jauh lagi, sebanyak 25% responden mengaku tidak mendapatkan kesempatan promosi. Meskipun mereka menyatakan bahwa promosi untuk menduduki jabatan pemimpin tidak memandang gender, proporsi distribusi peran kepemimpinan masih kurang seimbang. Prevalensi atasan laki-laki masih lebih tinggi, yaitu sebesar 53%.
Riset yang dilakukan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terhadap jurnalis perempuan juga menunjukkan hasil yang sama. Diskriminasi gender yang kerap menimpa responden menyangkut remunerasi, kenaikan jabatan, hak cuti, hak melahirkan, tunjangan kesehatan, dan kesempatan untuk berkontribusi di ruang redaksi.
Ketidakadilan terhadap perempuan di tempat kerja sangat memengaruhi kesehatan mental, termasuk bagi pekerja laki-laki. Lingkungan yang tidak sensitif gender cenderung membuat para pekerja mengalami burnout yang berdampak pada menurunnya performa dan produktivitas mereka.
Sebaliknya, berdasarkan penelitian dari Peterson Institute for International Economics pada 2016 lalu, kehadiran perempuan di jajaran kepemimpinan berkontribusi positif terhadap kinerja perusahaan. Perusahaan yang menyediakan kuota pemimpin perempuan sebanyak 30% dari yang semula tidak ada sama sekali berpotensi meningkatkan keuntungan hingga 15%.
Studi ini menegaskan bahwa kapabilitas pekerja perempuan patut diperhitungkan dan dapat disandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu, diskriminasi perempuan di tempat kerja tidak semestinya dipelihara.
Baca Juga: 50% Wanita Korbankan Mimpinya, Kesetaraan Gender dalam Rumah Tangga Masih Rendah?