Indonesia memiliki potensi energi matahari yang tinggi dan tersebar di seluruh nusantara. Potensi energi matahari di Indonesia diperkirakan akan meningkat dari sekitar 1.400 GW pada tahun 2020 menjadi 3.380 GW pada tahun 2050. Meskipun begitu, hanya 44% dari total potensi energi matahari yang dimanfaatkan pada tahun 2050, yang membutuhkan luas lahan sebesar 2,5% dari total lahan yang tersedia (tidak termasuk hutan dan air).
Sebagian besar energi surya di Indonesia digunakan untuk skala utilitas, seperti pembangkit listrik tenaga surya yang berada di luar gedung. Sementara itu, sekitar 20% dari energi surya di Indonesia digunakan untuk PV surya atap pada sektor perumahan, komersial, dan industri. Meskipun terdapat kekhawatiran tentang variabilitas energi surya, model menunjukkan bahwa pasokan listrik akan terjamin meskipun pangsa pembangkit tenaga surya tinggi.
Untuk mendukung perdagangan energi listrik dalam negeri, kapasitas jaringan listrik Indonesia perlu diperluas. Interkoneksi antara Jawa Timur dan Bali perlu diperluas ke Nusa Tenggara, dan interkoneksi Jawa-Sumatera yang direncanakan sangat penting untuk memasok listrik ke Pulau Jawa. Pada tahun 2050, kapasitas transmisi keseluruhan sebesar 158 GW perlu dibangun untuk menghubungkan Indonesia dari barat ke timur. Ini membutuhkan tindakan dari pemerintah, pembuat kebijakan, regulator, dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai utilitas yang memiliki semua jalur transmisi dan distribusi.
Dalam skenario terbaik, Pulau Jawa diasumsikan tetap menjadi konsumen energi utama di Indonesia, mengkonsumsi 80% dari total energi di negara tersebut. Namun, pada tahun 2030, Jawa perlu mengimpor 4,6% dari permintaannya, 45,5% pada tahun 2040, dan 82,1% pada tahun 2050. Oleh karena itu, interkoneksi antara Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga akan menjadi lebih penting setelah tahun 2030 karena sistem energi menjadi lebih berbasis listrik. Namun, karena proyek jaringan transmisi biasanya membutuhkan waktu lama untuk dikembangkan, sangat penting untuk memulai