Indonesia, sebagai salah satu produsen batubara terbesar di dunia, telah memproduksi 615 juta ton batubara dengan harga acuan sebesar $308/ton pada bulan November 2022. Seiring dengan peningkatan permintaan global yang lebih menarik, perusahaan batubara Indonesia lebih memilih mengekspor produk mereka untuk dijual di pasar domestik. Sebagai contoh, ekspor batu bara ke Eropa telah mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, dengan jumlah sekitar 4 juta ton tahun ini. Namun, perlu diingat bahwa realisasi ekspor batubara Indonesia terus menurun dalam tiga tahun terakhir.
Meskipun demikian, peningkatan ekspor batubara tahun ini telah memberikan dampak positif pada pertumbuhan penerimaan negara. Pada kuartal pertama tahun 2022, sektor pertambangan mineral telah mencapai 95% dari target penerimaan negara.
Namun, lonjakan ekspor batubara ini sebenarnya membahayakan pasokan energi di Indonesia. Untuk memastikan pasokan batubara nasional bagi sistem ketenagalistrikan, pemerintah telah menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) dengan harga USD 70/ton, yang tiga kali lebih rendah dari harga global. Ada juga subsidi untuk bahan bakar fosil lainnya, seperti alokasi dana publik sebesar Rp 77,5 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak dan LPG pada tahun 2022.
Meskipun subsidi ini dapat membantu mempertahankan industri batubara Indonesia, tanpa subsidi ini dapat mengakibatkan kenaikan harga bahan bakar fosil lainnya, seperti Pertamax dan Pertalite. Hal ini disebabkan oleh besarnya subsidi dan kompensasi yang diberikan untuk sumber energi utama, yang diperkirakan mencapai hampir Rp 300 triliun pada tahun ini. Oleh karena itu, Indonesia masih memerlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan mencari alternatif sumber energi yang lebih berkelanjutan.