Rumah yang layak huni tidak hanya dijadikan sekadar atap untuk berlindung, tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan bermartabat. Sesuai dengan standar Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-11, yaitu Sustainable Cities and Communities, rumah layak huni menjadi indikator penting dalam menciptakan kota dan pemukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Namun, bagaimana sebenarnya kondisi hunian layak di Indonesia?
Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mengklasifikasikan rumah layak huni dengan empat kriteria:
- Luas tempat tinggal minimal 7,2 m² per kapita
- Akses terhadap air minum layak
- Akses terhadap sanitasi layak
- Ketahanan bangunan (atap, dinding, dan lantai sesuai standar)
Tren Hunian Layak di Indonesia
Secara nasional, data menunjukkan adanya peningkatan dalam persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian layak. Pada 2022, angkanya mencapai 60,66%, meningkat menjadi 63,15% pada 2023, dan 65,25% pada 2024.
Namun, disparitas antarwilayah sangat mencolok. Provinsi seperti DI Yogyakarta, Bali, dan Kalimantan Timur mencatat angka yang mendekati ideal. Sebaliknya, wilayah Papua Pegunungan masih tertinggal jauh.
Peta Ketimpangan Hunian Layak (2022–2024)
Beberapa data menarik untuk menggambarkan kondisi ini:
Peringkat 2024 | Provinsi | 2022 | 2023 | 2024 |
1 | DI Yogyakarta | 84,94 | 85,79 | 86,68 |
2 | Bali | 81,65 | 84,26 | 85,99 |
3 | Kalimantan Timur | 73,18 | 75,82 | 76,77 |
36 | Kep. Bangka Belitung | 30,79 | 32,57 | 30,72 |
37 | Papua Tengah | - | - | 26,79 |
38 | Papua Pegunungan | - | - | 4,44 |
Apa yang Menghambat?
Provinsi dengan persentase rendah seperti Papua Pegunungan menghadapi tantangan besar dalam pembangunan infrastruktur dasar. Faktor geografis, minimnya akses air bersih, dan ketahanan bangunan menjadi masalah utama.
Hubungan dengan SDGs
Data ini menjadi peringatan untuk mempercepat pencapaian SDG ke-11: Sustainable Cities and Communities. Pemerintah perlu fokus pada pembangunan infrastruktur di wilayah tertinggal dan memastikan program perumahan murah mencapai masyarakat yang paling membutuhkan.
Rumah layak huni bukan hanya tentang kenyamanan, tetapi juga terkait langsung dengan kualitas hidup. Penelitian menunjukkan bahwa hunian yang tidak layak dapat memengaruhi kesehatan, pendidikan, dan produktivitas kerja masyarakat.
Kesimpulan
Peningkatan akses terhadap rumah layak huni di Indonesia memang terjadi, tetapi masih ada pekerjaan besar di depan, terutama untuk daerah-daerah yang tertinggal. Percepatan pembangunan infrastruktur dan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan swasta menjadi kunci untuk memastikan semua warga Indonesia menikmati hak mereka atas hunian layak.
Baca Juga: Program Sejuta Rumah Sudah Telan Rp67 Triliun, Defisit Hunian Berkurang?