Indonesia telah menyatakan komitmennya terhadap perubahan iklim setelah Paris Agreement dengan mengajukan Nationally Determined Contribution (NDC) ke sekretariat The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan menetapkan Undang-undang (UU) no. 16/2016. Kedua dokumen ini menyatakan bahwa Indonesia akan menurunkan emisinya sebesar 29% di bawah level Bisnis seperti Biasa (BAU) pada tahun 2030 sebagai target yang tidak bersyarat dan 41% di bawah BAU sebagai target bersyarat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mendukung ambisi ini dengan menyatakan bahwa Indonesia dapat mencapai pengurangan emisi sebesar 27,3% dari BAU pada tahun 2024. Untuk mencapai target ini, Indonesia ingin menerapkan 23% energi terbarukan dari total energi primer pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2030.
Namun, hingga tahun 2021, target energi terbarukan tersebut masih jauh dari harapan dan batu bara masih mendominasi lebih dari 60% dari total saham listrik. Dalam Strategi Jangka Panjang mereka, negara-negara menyatakan bahwa netralitas emisi di semua sektor dapat dicapai pada tahun 2060 atau lebih cepat, tanpa menyebutkan kemampuan optimal Indonesia untuk menjawab seberapa cepat itu bisa tercapai.
Meskipun begitu, target NDC dan netralitas emisi Indonesia terlihat ambisius, dibandingkan dengan target NDC negara-negara berkembang lainnya yang sejalan dengan Paris Agreement, seperti India, Filipina, Ethiopia, dan Maroko, target Indonesia dianggap sebagai target yang sangat tidak mencukupi.
Dengan menerapkan sekitar 1.700 GW energi terbarukan, Indonesia dapat memenuhi permintaan listrik dengan 100% energi terbarukan dan mencapai netralitas emisi sebelum 2060, pada tahun 2050, dengan kontribusi utama dari 1.492 GW solar PV (88% dari campuran energi primer), 40 GW hidro, dan 19 GW geothermal.