Tren Menurun, Warga Yogyakarta Semakin Enggan Menikah?

Kata Joko Pinurbo, Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Jadi, warga Yogyakarta tak perlu buru-buru nikah?.

Tren Angka Pernikahan di DIY, 2018-2023

Sumber: BPS (Badan Pusat Statistik)
GoodStats

Secara angka, pernikahan warga provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan penurunan. Badan Pusat Statistik menyajikan tren menurun pernikahan di Kota Gudeg ini dari tahun ke tahun, dalam enam tahun terakhir (2018-2023).

Data ini seolah berkontradiksi dengan sejumlah anggapan bahwa Yogyakarta adalah tempat bertemunya lelaki dan perempuan dan diikat jalinan romansa dengan emosi rindu yang membuncah.

Sejumlah pengubah lagu, membuat lirik-lirik yang mengesankan tentang sepenggal kisah menis di Yogyakarta. Demikian pula dengan penyair Joko Pinurbo, ia punya banyak syair sublim nan romantis tentang Yogyakarta.

Dalam puisinya "Jogja dalam Kaleng Khong Guan", penyair yang kerap dipanggil Jokpin ini menulis,

Jogja itu
rasa kangen
dan senewen
yang selalu muncul
dalam kaleng
Khong Guan
tanpa kulo nuwun
dan matur nuwun

Bahkan penyair ini tak segan-segan menggunakan pilihan diksi satire untuk mengungkap emosi rindu yang mendalam melalui puisi pendek "Guyon Jogja".

UMR-nya rendah
Harga tanahnya tinggi
Harga kangennya lebih tinggi

Namun tampaknya gejolak rindu, kangen, dan romansa di Kota Pelajar ini tiak selalu berbanding lurus dengan angka pernikahan bagi warga Yogyakarta sebagai jenjang tertinggi dalam sebuah relasi cinta.

Tren pernikahan angka pernikahan yang menurun di DIY, tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Psikolog Jatu Anggraeni dalam wawancaranya dengan JPNN (17/7/2024), menyebutkan beberapa faktor yang menjadi penyebab kecenderungan generasi lebih muda ini enggan terburu-buru menikah.

Menurut Dosen Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) ini, tren menunda perjalanan hubungan menuju jenjang pernikahan ini dipengaruhi oleh globalisasi yang mengubah pola pikir anak-anak muda saat ini.

Jatu mengungkapkan bahwa Gen Z tidak lagi berpikir bahwa pernikahan harus dilangsungkan pada usia tertentu. Generasi ini lebih fokus pada pengembangan diri dan mengutamakan kenyamanan diri sendiri.

Terkait hal ini, semakin luasnya peluang perempuan untuk mengembangkan diri dalam pendidikan dan karier, turut mendukung pilihan untuk menunda pernikahan.

Secara mentalitas, calon pasangan muda ini terpapar oleh situasi di mana perceraian marak terjadi. Ketidakharmonisan dalam keluarga yang mereka saksikan atau alami, memberikan kesan buruk bahkan trauma terhadap pernikahan.

Baca Juga: Angka Pernikahan RI Terus Menurun, Tahun 2023 Terendah!

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook