Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun data nikah dan cerai Indonesia dari 2018 hingga 2023. Data mengungkap bahwa angka pernikahan Indonesia terus mengalami penurunan sejak 2018 dan tercatat 2023 mencapai angka terendah.
Dimulai dari 2018, Indonesia mencatat 2.016.171 jumlah pernikahan. Angka ini tertinggi dalam daftar, dengan pernikahan terbanyak terjadi di Jawa Barat sejumlah 438.384.
Selanjutnya, RI mencatat 1.968.978 nikah pada 2019 dan sebesar 409.699 datang dari Provinsi Jawa Barat. Penurunan terjadi sekitar 45 ribu dibandingkan tahun sebelumnya yang mencetak rekor jumlah tertinggi.
Pada 2020, jumlah pernikahan Indonesia menembus 1.780.346. Grafik kembali menurun di tahun tersebut, dengan kisaran penurunan mencapai 180 ribu dan tercatat sebagai penurunan terbesar selama 7 tahun belakangan.
DIlihat menurut provinsi, Jawa Barat masih jadi provinsi pencetak jumlah nikah terbanyak di tanah air, sebesar 372.723.
Tahun 2021, angka nikah Indonesia mencapai 1.742.049 dan Provinsi Jawa Barat masih menyumbang angka tertinggi, sebesar 346.484. Penurunan sekitar 30 ribu terjadi dibandingkan tahun sebelumnya.
Berikutnya, Indonesia mencatat 1.705.348 pernikahan pada 2022. Penurunan sebanyak 30 ribu-an terjadi dibandingkan 2021, dengan jumlah nikah terbanyak tercatat di Provinsi Jawa Barat sebesar 336.912.
Pada 2023, angka pernikahan hanya tercatat 1.577.255. Dari total tersebut, jumlah tertinggi sebesar 317.715 datang dari Provinsi Jawa Barat. Dibandingkan tahun 2022, angka penurunan sekitar 120 ribu pernikahan.
Sejak tahun 2018, provinsi Jawa Barat masih jadi provinsi pencetak jumlah angka tertinggi, meski jumlahnya juga menurun tiap tahunnya. Dalam 7 tahun belakangan, penurunan terjadi secara konstan dengan jumlah turun paling tinggi terjadi pada 2020.
Menurut Ida Ruwaida, Sosiolog Universitas Indonesia, penyebab terjadinya penurunan salah satunya adalah karena adanya perubahan gagasan tentang pernikahan. Tak heran, penurunan angka nikah turut menjadi tren global karena persepsi mengenai pernikahan pun berbeda di berbagai wilayah.
"Nikah dulu lebih karena tuntutan sosial ekonomi bahkan politik. Kini tuntutan sosial atau obligasi tentang nikah semakin lunak atau cair, apalagi di perkotaan," ungkap Ida, melansir Kompas.