Berdasarkan The Sustainable Development Goals Report 2024 oleh United Nation (UN), hampir 241 juta pekerja di seluruh dunia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2023. Lebih dari separuh pekerja yang hidup dalam kemiskinan ekstrem berada di Afrika Sub-Sahara (145 juta).
Angka kemiskinan pekerja di Asia Tengah dan Selatan berkurang secara signifikan sebesar 6,9% dari tahun 2015 ke 2023. Sebaliknya, Afrika Utara dan Asia Barat mengalami peningkatan sebesar 3,7%.
Pada 2023, sebanyak 6,9% pekerja dunia hidup dengan biaya kurang dari US$2,15 per hari, atau sekitar Rp33 ribu. Terbanyak berasal dari kawasan Afrika Sub-Sahara, proporsinya mencapai 32,8%. Jumlahnya memang menurun dari tahun 2015 yang sebesar 35,4%.
Secara global, kaum muda dua kali lebih mungkin mengalami kemiskinan pekerja dibandingkan orang dewasa. Tidak hanya itu, wanita juga lebih rentan mengalami kemiskinan pekerja dibanding pria.
Kemiskinan pekerja adalah istilah untuk menggambarkan situasi saat seseorang tetap hidup dalam kemiskinan meskipun memiliki pekerjaan. Ini terjadi ketika pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan.
Upah yang rendah mendorong tingginya kemiskinan pekerja. Pekerja dengan upah minimum atau di bawah standar hidup layak sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok, meskipun telah bekerja penuh waktu.
Menurut Kasanah dan Fitrady (2018), di Indonesia sendiri, pekerja miskin didominasi oleh laki-laki, berusia produktif, berstatus pernah kawin, tinggal dalam rumah tangga dengan jumlah anggota lebih dari 4 orang, dan bukan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga.
Faktor yang berkontribusi terhadap kemiskinan pekerja adalah umur, jumlah anggota rumah tangga yang menjadi tanggungan, jenis kelamin, status perkawinan, daerah tempat tinggal, jenis lapangan usaha, jam kerja, jumlah pencari nafkah dalam keluarga, dan tingkat pendidikan.
Menurut penelitian tersebut, faktor terbesar didorong oleh pendidikan, diikuti jenis lapangan usaha. Pekerja dengan pendidikan yang rendah memiliki risiko jauh lebih tinggi untuk jatuh dalam kemiskinan.
Baca Juga: Tren Kemiskinan di Indonesia dalam 5 Tahun Terakhir