Kegiatan berkunjung ke pusat perbelanjaan tidak selalu berakhir dengan transaksi pembelian. Berdasarkan survei Kedai Kopi, sebanyak 86,6% publik Indonesia mengaku pernah datang ke mal tanpa membeli apa pun, sementara hanya 13,4% yang mengatakan tidak pernah melakukan hal tersebut.
Adapun fenomena ini lekat dengan istilah viral di media sosial, yakni “rojali” dan “rohana”. Dua akronim ini merupakan kepanjangan dari rombongan jarang beli dan rombongan hanya nanya.
Keduanya menggambarkan kebiasaan masyarakat yang gemar berkunjung ke pusat perbelanjaan hanya untuk berjalan-jalan, melihat dan menanyakan barang, atau sekadar menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga tanpa adanya niat untuk melakukan pembelian.
Bahkan, sebagian besar responden yang tidak melakukan pembelian di mal juga mengaku alasan di balik tindakan tersebut adalah karena hanya ingin sekadar jalan-jalan atau healing saja.
Adapun salah satu sebab terjadinya kondisi ini adalah melemahnya daya beli masyarakat dan perubahan pola konsumsi pasca pandemi. Menurut Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) I Wayan Nuka Lantara, kejadian ini tidak hanya terjadi di Indonesia.
“Secara global, daya beli masyarakat sedang mengalami tekanan. Di Jerman maupun Jepang, saya melihat fenomena serupa. Di Jepang, orang lebih banyak window shopping tanpa membeli. Jadi bukan hanya di Indonesia,” ungkapnya kepada wartawan di Kampus UGM, Yogyakarta, Jumat (22/8/2025).
Menurutnya, kenaikan harga kebutuhan pokok yang memicu inflasi membuat masyarakat melakukan realokasi anggaran. Harga beras, daging, hingga transportasi yang meningkat mengakibatkan bentuk belanja nonesensial seperti pakaian atau produk gaya hidup di mal ditempatkan pada prioritas kedua.
Selain itu, pergeseran perilaku belanja setelah pandemi Covid-19 kian bersambung hingga kini karena perbedaan harga yang cukup signifikan antara mal dan toko online.
Jika kondisi ini terus berlanjut, ia menilai bisnis ritel bisa terpukul, bahkan berpotensi menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor pusat perbelanjaan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya langkah antisipatif dari pemerintah mengingat industri ritel menyerap banyak tenaga kerja yang menggantungkan nasibnya melalui sektor ekonomi ini.
“Dua pihak perlu mendapat perhatian, pelaku usaha ritel melalui insentif pajak atau stimulus tertentu seperti penyelenggaraan event di mal, dan masyarakat melalui pengendalian inflasi agar daya beli terjaga. Tanpa itu, kelas menengah yang selama ini menopang konsumsi justru akan tergerus,” tegasnya.
Pengambilan data dalam survei bertajuk Survei Pergeseran Perilaku Konsumsi dan Daya Beli Masyarakat Kelas Menengah ini dilakukan pada 14-19 Oktober 2025 dengan melibatkan 932 responden. Adapun data kunjungan tanpa membeli ini hanya melibatkan 766 responden yang mengunjungi mal dengan metode online survey melalui Computerized Assisted Self Interview (CASI)
Baca Juga: Fenomena Window Shopping: Masuk Mal Tapi Tidak Belanja, Apa Penyebabnya?
Sumber:
https://kedaikopi.co/flipbook/survei-perilaku-konsumsi-daya-beli-masyarakat-kelas-menengah/
https://ugm.ac.id/id/berita/fenomena-rojali-dan-rohana-ekonom-ugm-sebut-daya-beli-masyarakat-menurun-dan-perubahan-pola-konsumsi/