Di tengah krisis iklim global yang kian mendesak, tak semua sektor industri bergerak dengan kecepatan dan keseriusan yang sama dalam menanggapi isu keberlanjutan lingkungan. Padahal, sektor industri menyumbang porsi yang besar terhadap emisi global, dan memiliki peran vital dalam memperlambat atau justru mempercepat kerusakan lingkungan. Lalu, industri mana saja yang benar-benar menjadikan lingkungan sebagai agenda utama dalam bisnis mereka?
Capgemini Research Institute dalam laporan bertajuk Driving Business Value Through Sustainability mengungkap temuan penting dari survei global terhadap 1.001 eksekutif senior di 13 negara, mencakup wilayah Amerika Utara, Eropa, hingga Asia Pasifik. Para responden berasal dari 12 sektor industri berbeda, dan diminta pendapat seberapa besar mereka menjadikan keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas utama bisnis di tahun 2025.
Dari hasil survei tersebut, sektor jasa keuangan tercatat sebagai yang paling konsisten, dengan 82% eksekutif menyatakan bahwa keberlanjutan lingkungan masih menjadi prioritas utama dalam strategi bisnis mereka. Disusul oleh sektor telekomunikasi sebesar 77%, serta energi, utilitas, dan manufaktur konsumen yang masing-masing berada di angka 75%.
Sementara itu, sektor publik/pemerintah sebesar 69%, kesehatan dan layanan kesehatan sebanyak 73%, serta ritel dengan angka 68% menunjukkan komitmen yang cukup kuat, meskipun masih menyisakan ruang untuk percepatan.
Namun, data ini juga menampakkan kontras mencolok ketika menilik sektor otomotif dan agrikultur. Meskipun keduanya memiliki jejak karbon besar dan berada di garis depan krisis lingkungan, hanya 56% sektor otomotif dan 59% sektor agrikultur dan kehutanan yang menganggap keberlanjutan sebagai prioritas utama.
Di antara berbagai sektor industri yang paling menekankan keberlanjutan, industri otomotif justru menjadi yang paling tertinggal hanya 56% eksekutif sektor ini menganggap isu lingkungan sebagai prioritas utama. Padahal, sektor otomotif merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap emisi karbon global.
Di Indonesia sendiri, tantangan membangun ekosistem otomotif hijau sangat kompleks. Menurut data GAIKINDO, Indonesia menghadapi kesenjangan dalam hal teknologi, inovasi, infrastruktur pendukung seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), serta dukungan regulasi, termasuk kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan insentif fiskal yang belum berjalan optimal
Sektor otomotif dituntut untuk bergerak lebih cepat dan konsisten jika ingin berkontribusi nyata dalam upaya menekan laju perubahan iklim. Transisi menuju keberlanjutan tidak hanya soal inovasi teknologi, tetapi juga reformasi sistem produksi dan distribusi. Tanpa komitmen yang kuat dan kolaborasi lintas sektor, sektor otomotif berisiko menjadi kontributor terhadap emisi karbon global.
Baca Juga: Sisi Gelap AI: Ancaman Baru bagi Lingkungan?
Sumber:
https://www.capgemini.com/insights/research-library/sustainability-and-value-creation/
https://www.gaikindo.or.id/tantangan-membangun-ekosistem-industri-otomotif-di-indonesia/