Pada tahun 2023, nilai impor sejumlah komoditas strategis tanaman pangan menunjukkan fluktuasi signifikan, mencerminkan perubahan kebutuhan dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Data ini menjadi indikasi bahwa Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan tertentu, meskipun nilai impor beberapa komoditas mengalami penurunan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), beras mencatatkan peningkatan impor paling signifikan dengan nilai sebesar US$1.776.781.068, naik drastis sebesar 811,07% dibandingkan tahun sebelumnya. Lonjakan ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan beras dalam negeri yang tidak dapat sepenuhnya dipenuhi oleh produksi lokal, dipengaruhi oleh kondisi produksi dalam negeri yang terganggu akibat cuaca ekstrem atau penurunan hasil panen, sehingga impor menjadi solusi untuk menjaga ketersediaan pangan.
Berbeda dengan beras, impor jagung justru turun secara signifikan hingga 90,86%, dengan nilai hanya mencapai US$8.964.442. Penurunan tajam ini menunjukkan bahwa produksi jagung dalam negeri berhasil memenuhi kebutuhan domestik, terutama untuk pakan ternak yang menjadi penggunaan utama jagung di Indonesia.
Kacang hijau mencatatkan kenaikan impor sebesar 14,51%, dengan nilai mencapai US$118.220.747. Kenaikan ini mengindikasikan adanya peningkatan konsumsi kacang hijau di dalam negeri, baik untuk bahan makanan maupun keperluan industri.
Nilai impor kacang tanah menurun sebesar 19,23% menjadi US$374.166.098. Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas kacang tanah lokal atau adanya substitusi produk lain di pasar.
Kedelai mengalami penurunan impor sebesar 9,37%, dengan nilai sebesar US$1.474.651.423. Kedelai masih menjadi salah satu komoditas impor utama, mengingat tingginya konsumsi dalam negeri untuk industri pangan seperti tahu dan tempe.
Secara keseluruhan, nilai impor komoditas strategis tahun 2023 memperlihatkan upaya untuk mengurangi ketergantungan pada impor jagung, kacang tanah, dan kedelai, namun tetap menunjukkan tantangan besar dalam pemenuhan kebutuhan beras.