Potret Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan di Indonesia: Naiknya Angka KDRT 2024

Sekitar 14,9 ribu kasus kekerasan berbasis gender di 2024 terjadi di lingkup rumah tangga. Bagaimana isu KDRT bisa diselesaikan di Indonesia?.

Kekerasan berbasis Gender berdasarkan Tempat Kejadian per 2 Desember 2024

Sumber: KemenPPPA
GoodStats

Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan terus menjadi tantangan besar di Indonesia. Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tahun 2024, terdapat 24.441 kasus kekerasan berbasis gender, di mana sebagian besar korbannya adalah perempuan. Artikel ini akan membahas statistik terkini, fokus pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai isu terbesar, serta solusi untuk mengatasinya.

Statistik Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia (2024)

Berdasarkan laporan KemenPPPA, jumlah korban kekerasan berbasis gender di tahun 2024 adalah sebagai berikut:

  • Total kasus kekerasan: 24.441 kasus
  • Korban perempuan: 21.175 korban
  • Korban laki-laki: 5.353 korban

Mirisnya, sebagian besar kekerasan terjadi dalam lingkup rumah tangga, dengan rincian sebagai berikut.

  • Rumah tangga: 14.941 kasus
  • Fasilitas umum: 2.524 kasus
  • Sekolah: 1.453 kasus
  • Tempat kerja: 333 kasus
  • Lembaga pendidikan kilat: 43 kasus
  • Lainnya: 5.147 kasus

Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga mendominasi kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia. Situasi ini diperburuk dengan bentuk kekerasan lain, seperti kekerasan finansial dan psikologis, yang sering kali sulit dikenali oleh korban.

Kekerasan dalam Rumah Tangga: Fokus Utama 2024

Apa Itu Kekerasan dalam Rumah Tangga?

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), atau dikenal juga sebagai domestic violence, adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah pribadi. Biasanya, pelaku adalah individu yang memiliki hubungan dekat dengan korban, seperti suami terhadap istri, ayah kepada anak, paman terhadap keponakan, atau bahkan kakek kepada cucu.

Tak hanya itu, KDRT juga sering ditemukan dalam hubungan pacaran atau melibatkan individu yang bekerja di lingkungan rumah tangga, seperti asisten rumah tangga yang tinggal bersama keluarga tersebut. Selain hubungan pasangan, kekerasan ini juga mencakup tindakan kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki ikatan darah.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mencakup berbagai bentuk kekerasan, termasuk:

  • Fisik: Pemukulan, penganiayaan, hingga percobaan pembunuhan.
  • Psikologis: Intimidasi, pelecehan verbal, dan penghinaan.
  • Finansial: Kontrol terhadap keuangan pasangan, pembatasan akses penghasilan, atau pengucilan ekonomi.

Dalam data KemenPPPA per 2 Desember 2024, 14.941 kasus KDRT tercatat sebagai bagian terbesar dari kekerasan berbasis gender. Kekerasan ini sering kali tersembunyi karena stigma sosial dan ketergantungan ekonomi korban pada pelaku.

BBC mengungkapkan beberapa penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, seperti:

  1. Budaya Patriarki yang Mengakar
    Pandangan tradisional yang menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang sering kali disalahgunakan.
  2. Stigma Sosial dan Rasa Malu
    Banyak korban enggan melapor karena takut dicap sebagai penyebab masalah keluarga atau tidak mampu menjaga keharmonisan rumah tangga.
  3. Kurangnya Dukungan Ekonomi
    Ketergantungan finansial pada pasangan membuat perempuan merasa terjebak dalam lingkungan kekerasan. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Parapuan.
  4. Minimnya Penegakan Hukum
    Lemahnya implementasi hukum membuat pelaku KDRT sering kali tidak mendapat hukuman setimpal, mengurangi kepercayaan korban untuk melapor.

Solusi Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga

1. Edukasi Publik yang Lebih Masif

Mengubah stigma dan budaya patriarki membutuhkan kampanye edukasi yang luas. Program seperti 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) dapat memperluas pemahaman masyarakat tentang berbagai bentuk kekerasan dan cara melaporkannya.

2. Peningkatan Layanan Perlindungan

Pemerintah perlu meningkatkan akses terhadap layanan perlindungan, seperti:

  • Rumah aman: Tempat perlindungan sementara bagi korban.
  • Hotline darurat: SAPA nomor 129 (telepon) atau 0811-1112-9129 (WhatsApp).
  • Bantuan hukum gratis: Pendampingan hukum bagi korban KDRT (LBH APIK).

3. Penegakan Hukum yang Tegas

Kebijakan yang lebih tegas, seperti hukuman berat untuk pelaku KDRT, perlu diterapkan untuk memberikan efek jera. Korban juga membutuhkan jalur hukum yang lebih mudah diakses.

4. Dukungan dari Komunitas Lokal

Tokoh masyarakat dan agama dapat berperan besar dalam mendorong korban untuk melapor. Dukungan komunitas membantu korban merasa tidak sendirian dalam menghadapi masalah ini.

Pada akhirnya, kekerasan berbasis gender, khususnya dalam rumah tangga, adalah tantangan serius yang membutuhkan perhatian segera. Data tahun 2024 menunjukkan bahwa 61% kekerasan berbasis gender terjadi dalam rumah tangga, dengan perempuan sebagai korban utama. Dengan edukasi publik, layanan perlindungan yang memadai, dan penegakan hukum yang lebih tegas, Indonesia dapat mulai mengurangi kasus kekerasan ini dan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan.

Jika Anda atau orang terdekat Anda mengalami kekerasan dalam rumah tangga, segera cari bantuan melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang terdapat di berbagai provinsi atau melalui SAPA nomor 129 (telepon) atau 0811-1112-9129 (WhatsApp).

Baca Juga: Fenomena Gunung Es pada Kasus Kekerasan Anak

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook