Produksi Cenderung Menurun, Neraca Perdagangan Kakao Indonesia Turut Mengecil

Berdasarkan laporan BPS, kinerja produksi kakao Indonesia kian memburuk, mencatatkan volume dan nilai neraca perdagangan terendah selama lima tahun terakhir.

Nilai Ekspor dan Impor Kakao Indonesia 2019-2023

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
GoodStats

Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Berdasarkan laporan Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia memproduksi 667.296 ton biji kakao pada 2022, menempatkannya pada peringkat ketiga global.

Di tengah tren positif produksi kakao dunia, produksi di dalam negeri justru konsisten menurun selama lima tahun terakhir, seiring dengan makin tergerusnya luas areal perkebunan kakao. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan produksi kakao di Indonesia pada 2023 hanya mencapai sekitar 632,12 ribu ton, turun 16% dari 734,80 ribu ton pada 2019.

Selain itu, kinerja ekspor kakao Indonesia tampak fluktuatif, baik dari sisi produksi maupun nilai. Selama kurun waktu lima tahun, rekor tertinggi tercatat pada 2022 dengan volume ekspor menyentuh 385,42 ribu ton dan nilai US$1.259,65 juta. Setahun berselang, angkanya justru menurun cukup signifikan, menjadi 339,99 ribu ton dengan nilai US$1.197,70 juta.

Di lain sisi, volume dan nilai impor kakao Indonesia cenderung meningkat. Pada 2019, volume impor kakao Indonesia sebesar 309,74 ribu ton dengan nilai US$775,99 juta. Tahun lalu, volumenya melonjak menjadi 340,45 ribu ton dengan nilai sebesar US$979,64 juta.

Kondisi ini membuat nilai neraca perdagangan atau selisih nilai ekspor-impor kakao Indonesia turut mengecil. Pada 2023, nilai neraca perdagangan kakao Indonesia sebesar US$218,06 juta, terendah sejak lima tahun terakhir. Angka tersebut turun drastis dari perolehan pada tahun sebelumnya yang sebesar US$436,75 juta.

Pada 2021, nilai neraca perdagangan kakao Indonesia sebesar US$402,48 juta. Tahun 2020 mencatatkan angka tertinggi selama periode lima tahun, nilainya menyentuh US$593,48 juta. Adapun perolehan pada 2019 sebesar US$422,78 juta.

Selain dilatarbelakangi penurunan luas areal perkebunan sebagaimana catatan BPS, FAO menyebut tren negatif produksi kakao lokal ini disebabkan oleh banyak faktor yang meliputi kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam manajemen produksi, terbatasnya biaya mengganti pohon yang telah menua, penggunaan benih lokal yang rentan penyakit, serta kurangnya masukan dan manajemen pertanian.

Tidak hanya itu, kualitas biji kakao dalam negeri juga dinilai rendah. Pasalnya, para petani cenderung enggan memfermentasikannya pasca-panen dan lebih memilih menjualnya langsung. Dengan kualitas yang rendah, harga jual kakao pun turut rendah sehingga petani meraup pendapatan yang lebih sedikit.

Melihat kondisi ini, pemerintah perlu merumuskan strategi untuk kembali menggenjot produksi dalam negeri. Sejauh ini, Kementerian Pertanian (Kementan) telah memberikan bibit kakao varietas unggul untuk petani guna meningkatkan produktivitas dan kualitas kakao lokal. Selain itu, kesejahteraan petani dan pemberdayaan sumber daya manusia juga mesti tidak luput diperhatikan.

Untuk mengawasi dan menjamin mutu kakao, pemerintah melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN) memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) Biji Kakao, SNI 2323-2008-Amd1-2010 tentang Biji Kakao. Kakao yang akan diekspor harus memenuhi standar mutu ini, salah satunya fermentasi. Hal ini diupayakan guna membangun kepercayaan importir kakao Indonesia sehingga nantinya bisa meningkatkan volume dan nilai ekspor kakao lokal.

Baca Juga: 5 Negara Produsen Kakao Terbesar di Dunia

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook