Indonesia merupakan salah satu kekuatan ekonomi yang sedang berkembang di dunia. Bahkan saat ini pemerintahan Prabowo-Gibran telah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 8% pada tahun 2029. Untuk mencapai target tersebut, tentunya pemerintah perlu melakukan pembangunan di berbagai sektor.
Hingga saat ini Indonesia masih sangat mengandalkan industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, industri ekstraktif merupakan praktik pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang tidak berkelanjutan dan seringkali mengabaikan aspek lingkungan.
Ekonomi restoratif menjadi alternatif yang menarik bagi Indonesia untuk membangun ketahanan ekonomi yang berkelanjutan. Ekonomi restoratif adalah paradigma ekonomi yang berorientasi pada pemulihan ekosistem, pengelolaan secara kolektif, serta hubungan manusia dengan alam.
Berdasarkan laporan Center of Economic and Law Studies (Celios), terdapat 14 dari 34 provinsi (sebelum pemekaran jadi 38) di Indonesia yang memiliki potensi ekonomi restoratif sangat tinggi dan tinggi.
Terdapat lima provinsi yang masuk ke dalam kategori potensi sangat tinggi yaitu, Kalimantan Utara (99,93), Maluku (92,22), Kalimantan Tengah (85,21), Kalimantan Barat (83,62), dan Kepulauan Riau (80,96).
Selanjutnya sebanyak sembilan provinsi masuk ke dalam kategori tinggi yaitu, Papua Barat (77,58), Sulawesi Tengah (77,52), Kalimantan Timur (76,22), Maluku Utara (72,36), Kepulauan Bangka Belitung (70,65), Sulawesi Barat (70,06), Papua (66,51), Nusa Tenggara Timur (61,57), dan Sumatra Barat (60,06).
Penilaian potensi ekonomi restoratif didasarkan pada 14 indikator yang menggambarkan kemampuan daerah yang dapat dikembangkan dalam penerapan ekonomi restoratif. Berdasarkan penilaian, masing-masing provinsi akan dimasukkan ke dalam lima kategori, skor 80–100 masuk ke dalam kategori potensi sangat tinggi, skor 60–79 adalah kategori tinggi, skor 40–59 merupakan kategori moderat, skor 20–39 menandakan potensi rendah, dan skor 0–19 merupakan kategori potensi sangat rendah.
Baca Juga: Survei LPEM UI: Para Ahli Pesimis terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia