Proses pelantikan kepala daerah telah selesai dilaksanakan, namun transparansi dalam pelaporan dana kampanye Pilkada 2024 tetap menjadi isu krusial dalam evaluasi pemilu. Pelaporan dana kampanye tidak hanya mencerminkan kepatuhan kandidat terhadap regulasi, tetapi juga menjadi indikator potensi intervensi kepentingan dari pihak penyumbang.
Ketimpangan Dana Kampanye Pilkada
Berdasarkan analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) Pilkada 2024, ditemukan bahwa rata-rata sumbangan yang diterima oleh 36 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur adalah sebesar Rp9,6 miliar.
Namun, terdapat ketimpangan yang signifikan dalam jumlah dana kampanye Pilkada 2024. Data menunjukkan bahwa pasangan calon dengan dana kampanye terendah (di luar penerimaan Rp0) menerima Rp286,8 juta, sementara penerimaan tertinggi bisa mencapai Rp66 miliar.
Selain itu, terdapat satu pasangan calon dari Maluku, Hendrik Lewerissa dan Abdullah Vanath, yang melaporkan penerimaan sumbangan Rp0 dalam periode pembukuan. Namun, mereka mencatatkan penerimaan sebelum periode pembukuan sebesar Rp3,5 miliar, menimbulkan pertanyaan terkait transparansi pencatatan dana kampanye Pilkada 2024.
Data lebih lanjut menunjukkan bahwa pasangan RK-Suswono (DKI Jakarta) menerima dana kampanye tertinggi sebesar Rp66 miliar, diikuti oleh pasangan Pramono-Rano K. (DKI Jakarta) dengan Rp63 miliar dan pasangan Bobby-Surya (Sumatra Utara) dengan Rp38,3 miliar.
Di sisi lain, pasangan dengan dana kampanye terendah adalah Dharma
Pongrekun-Kun Wardana Abyoto (DKI Jakarta) dengan Rp286 juta, diikuti oleh Raudatul Jannah-Akhmad Rozanie H (Kalimantan Selatan) dengan Rp341,6 juta serta Nikolaus Kondomo-Baidin Kurita (Papua Selatan) dengan Rp423,1 juta.
Sumber Dana Kampanye Pilkada 2024 dan Potensi Intervensi
Selain besaran dana, sumber sumbangan juga menjadi faktor penting dalam analisis transparansi dana kampanye Pilkada 2024. Menurut survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018, sebanyak 82,3% calon kepala daerah menyatakan bahwa mereka menerima dukungan dari donatur, mayoritas berasal dari pengusaha. Keterlibatan pengusaha dalam pendanaan kampanye berisiko menciptakan politik balas budi setelah kandidat terpilih, yang berpotensi membuka celah bagi praktik korupsi dan konflik kepentingan.
Mahalnya biaya politik dalam Pilkada serta ketidaktransparanan dana kampanye Pilkada 2024 dapat menjadi pemicu korupsi di pemerintahan daerah. Oleh karena itu, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan transparansi adalah:
-
Peningkatan pengawasan terhadap pelaporan dana kampanye Pilkada 2024 oleh lembaga independen.
-
Penerapan sanksi yang lebih ketat bagi kandidat yang tidak transparan dalam pelaporan dana kampanye.
-
Mendorong pembiayaan politik yang lebih transparan dan akuntabel melalui regulasi yang lebih ketat.
Ketimpangan dalam penerimaan dana kampanye Pilkada 2024 dan keterlibatan pihak penyumbang yang tidak terpantau dengan baik menimbulkan tantangan besar dalam memastikan proses demokrasi yang bersih. Reformasi dalam sistem pendanaan kampanye menjadi langkah penting dalam menciptakan Pilkada yang lebih transparan dan bebas dari intervensi kepentingan tertentu.
Baca Juga: Fenomena Kemenangan Kotak Kosong di Pilkada 2024, Apa Artinya?