Tren Perselingkuhan Menjamur: Benarkah Keinginan Menikah di Indonesia Merosot?

Angka pernikahan di Indonesia terus turun sejak 2020, dari 1,78 juta menjadi hanya 1,48 juta pada 2024.

Jumlah Pernikahan di Indonesia 2020-2024

Sumber: BPS (Badan Pusat Statistik)
GoodStats

Kasus perselingkuhan kini terus menjamur di media sosial. Masyarakat seakan berlomba-lomba menyebarkan cerita viral, baik dari kalangan publik figur maupun kisah pribadi netizen yang kerap mengundang empati, amarah, bahkan trauma kolektif seputar perselingkuhan. Fenomena ini tidak hanya menjadi konsumsi publik, tetapi juga membentuk persepsi yang menakutkan terhadap institusi pernikahan, terutama bagi generasi muda.

Narasi betapa “menyeramkannya” pernikahan semakin marak di platform seperti Instagram, TikTok, Twitter, dan media lainnya. Kisah perceraian akibat perselingkuhan, kekerasan rumah tangga, hingga konflik ekonomi menjadi konten sehari-hari yang ramai dibahas melalui podcast, talkshow, bahkan film-film bertema keretakan rumah tangga. Lantas, benarkah tren ini memengaruhi minat masyarakat untuk menikah?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa memang angka pernikahan dari tahun 2020 ke tahun 2024 terjun bebas. Pada 2020, jumlah pernikahan mencapai 1.780.346, turun menjadi 1.478.302 pada 2024. Perbedaan angka tersebut menunjukan bahwa minat menikah di Indonesia selama lima tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup drastis, dengan penurunan 2-6% di setiap tahunnya.

Di sisi lain, data perceraian menunjukkan dinamika yang cukup menarik. Pada tahun 2020, terdapat 291.677 kasus perceraian, kemudian meningkat tajam menjadi 447.743 pada 2021, dan mencapai puncaknya di 2022 dengan 516.344 kasus. Namun, setelahnya angka ini mulai menurun, menjadi 463.654 di 2023 dan 394.608 pada 2024. Penurunan ini mengindikasikan adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk mempersiapkan pernikahan dengan lebih matang serta kemungkinan meningkatnya upaya menjaga keharmonisan rumah tangga.

Penurunan minat menikah terus berlanjut dalam jangka panjang berpotensi menyebabkan perubahan demografi yang signifikan, termasuk penurunan angka kelahiran, peningkatan jumlah penduduk lanjut usia, serta perubahan struktur keluarga. Dampak tersebut akan memengaruhi laju pertumbuhan penduduk dan menimbulkan tantangan ekonomi di masa depan.

Namun menurut Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Prof. Dr. Bagong Suyanto Drs. MSi, fenomena penurunan angka pernikahan ini merupakan hal yang wajar dan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Ia menjelaskan bahwa jika penurunan angka pernikahan terjadi secara berkelanjutan, hal ini memang dapat berdampak pada penurunan angka kelahiran. Namun, Prof. Bagong menegaskan bahwa kondisi tersebut tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Hal terpenting adalah memastikan bahwa penurunan angka pernikahan ini memberikan dampak positif, terutama dalam hal pemberdayaan perempuan dan masyarakat secara luas.

Lebih lanjut, Prof. Bagong berharap fenomena ini dapat membawa manfaat bagi masyarakat, dengan catatan penurunan angka pernikahan harus diiringi oleh peningkatan modal sosial. Artinya, perubahan ini harus mampu memperkuat jaringan sosial dan kualitas hubungan antarwarga agar berdampak positif secara sosial dan ekonomi.

Baca Juga: Pernikahan di RI Kembali Cetak Rekor Terendah pada 2024

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook