Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mendapat sorotan, kali ini akibat kebijakan imigrasi ketat yang diterapkannya. Pemerintah AS berencana melakukan deportasi massal terhadap lebih dari 1,4 juta imigran tanpa dokumen resmi.
Kebijakan ini semakin diperkuat dengan disahkannya Laken Riley Act oleh Kongres AS. Berdasarkan undang-undang ini, imigran tanpa status kependudukan yang sah tidak hanya bisa ditahan karena kejahatan berat, tetapi juga untuk pelanggaran ringan seperti mengutil.
Berdasarkan laporan U.S. Immigration and Customs Enforcement (ICE) hingga 24 November 2024, terdapat 1.445.549 warga negara asing dari 208 negara yang masuk dalam daftar deportasi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.276 warga negara Indonesia terancam dipulangkan. Angka ini menempatkan Indonesia di urutan ke-22 dalam daftar negara dengan jumlah imigran terbanyak yang akan dideportasi.
Sepuluh negara dengan jumlah imigran terbesar yang akan dipulangkan oleh pemerintah AS adalah Honduras dengan 261.651 orang, disusul Guatemala sebanyak 253.413 orang, serta Meksiko dengan 252.044 orang.
El Salvador menempati posisi keempat dengan 203.822 orang, diikuti oleh Nikaragua sebanyak 45.995 orang dan Kuba dengan 42.084 orang. Posisi selanjutnya diisi Brasil dengan 38.677 orang, China sebanyak 37.908 orang, serta Haiti dengan 32.363 orang.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini meminta Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk terus memantau perkembangan warga negara Indonesia (WNI) di AS. Amelia menegaskan bahwa kebijakan imigrasi yang diterapkan Trump berpotensi berdampak pada WNI yang tidak memiliki dokumen resmi.
"Kami mengimbau agar Kemlu terus memantau perkembangan WNI di AS jika memang akan terjadi deportasi, sebagaimana kita ketahui bahwa Presiden Donald Trump selalu menekankan penertiban imigran di AS," kata Amelia kepada Kompas, Minggu (9/2/2025).