Laporan terbaru World Health Organization (WHO) mengungkap perlunya investasi berkelanjutan dalam program pencegahan dan pengendalian infeksi atau Infection Prevention and Control (IPC) untuk mengatasi infeksi terkait layanan kesehatan atau Healthcare-Associated Infections (HAIs).
Meskipun 71,3% negara telah memiliki program IPC aktif (107 dari 150 negara), hanya 6% (9 negara) yang memenuhi semua persyaratan minimum WHO pada 2023-2024, masih jauh dari target di atas 90% pada 2030.
HAIs menjadi ancaman serius, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs), di mana pasien berisiko hingga 20 kali lebih tinggi terkena infeksi selama perawatan dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi. Infeksi ini dapat memperpanjang masa rawat inap, menyebabkan komplikasi serius seperti sepsis, bahkan kematian. Selain itu, resistensi antimikroba (AMR), yang kerap dipicu oleh penggunaan antibiotik berlebihan, turut diperburuk oleh lemahnya pengendalian infeksi.
WHO menyorot bahwa solusi sederhana seperti meningkatkan kebersihan air, sanitasi, dan layanan kesehatan (WASH) dapat secara signifikan mengurangi HAIs dan AMR. Namun, banyak fasilitas kesehatan, terutama di LMICs, menghadapi kendala besar, seperti keterbatasan anggaran, kekurangan tenaga IPC, dan minimnya persediaan alat pelindung diri (APD).
Tanpa tindakan segera, diperkirakan hingga 3,5 juta orang dapat meninggal setiap tahun akibat HAIs. Namun, intervensi IPC yang lebih baik diproyeksikan dapat menyelamatkan hingga 821.000 nyawa per tahun pada 2050, sekaligus menghemat biaya kesehatan hingga $112 miliar per tahun.
Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, menegaskan bahwa semua negara harus meningkatkan upaya IPC untuk melindungi pasien dan tenaga kesehatan. WHO berkomitmen membantu negara-negara mencapai target 2030, memastikan setiap orang yang mengakses atau memberikan layanan kesehatan terlindungi dari infeksi.
Baca Juga: 75% Warga Indonesia Punya Jaminan Kesehatan