Konflik agraria masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Di tengah percepatan pembangunan, tidak sedikit masyarakat kehilangan tanah, ruang hidup, bahkan sumber penghidupannya. Konflik agraria sendiri dapat dipahami sebagai suatu kondisi di mana terjadi proses interaksi antara dua atau lebih pihak, orang atau kelompok, yang memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama, yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang, dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan.
Dalam bentuk yang lebih kompleks, dikenal istilah konflik agraria struktural, yaitu pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses terhadap tanah, sumber daya alam, dan wilayah, umumnya antara masyarakat perdesaan dengan badan penguasa atau pengelola tanah dalam sektor produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (UUPA) pada Pasal 1 Ayat (1) hingga (5) menegaskan bahwa sumber-sumber agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sumber-sumber tersebut sangat penting bagi pemenuhan hak asasi manusia karena menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat. Persaingan dalam penguasaan dan pemanfaatannya kerap menimbulkan sengketa dan kekerasan sehingga menghambat pemenuhan HAM dan pembangunan yang berkeadilan.
Bagi Komnas HAM, konflik agraria adalah isu strategis karena menyangkut hak atas kesejahteraan masyarakat. Laporan Peta Jalan Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis HAM menegaskan bahwa penyelesaian konflik agraria tidak cukup hanya melalui pendekatan hukum dan ekonomi, tetapi juga harus berangkat dari penghormatan terhadap hak-hak dasar warga negara. Pendekatan berbasis HAM memastikan agar setiap kebijakan dan keputusan negara menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan, melindungi kelompok rentan, memulihkan korban, dan mencegah konflik serupa terulang kembali.
Dalam rentang tahun 2020 hingga 2024, Komnas HAM menerima total 2.780 aduan konflik agraria. Jumlah itu terdiri dari 551 kasus pada 2020, 539 kasus pada 2021, 603 kasus pada 2022, 582 kasus pada 2023, dan 505 kasus pada 2024. Dari keseluruhan laporan tersebut, terdapat lima provinsi yang menjadi daerah dengan aduan tertinggi.
Jawa Barat menjadi provinsi dengan laporan konflik agraria terbanyak yaitu 283 kasus selama lima tahun terakhir. Tingginya aduan di wilayah ini tidak lepas dari pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang menimbulkan banyak tumpang tindih pemanfaatan lahan. Di posisi kedua terdapat Sumatra Utara dengan total 273 kasus, disusul DKI Jakarta dengan 258 kasus. Urutan keempat ditempati Jawa Timur dengan 176 kasus, sementara Sumatra Selatan berada di bangku kelima dengan 157 kasus.
Data tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian konflik agraria membutuhkan komitmen serius dari negara agar hak masyarakat atas tanah dan ruang hidup benar-benar terlindungi. Banyak konflik terus berulang dari waktu ke waktu akibat lemahnya koordinasi antarlembaga, tumpang tindih regulasi, serta tidak adanya mekanisme penyelesaian yang benar-benar berpihak pada masyarakat.
Baca Juga: 7 Sektor Penyumbang Konflik Agraria Tahun 2024
Sumber:
https://dataham.komnasham.go.id/home/data_detail/e0ec453e28e061cc58ac83143f91dc2f3f0