Kecerdasan manusia dapat diukur melalui skor Intelligence Quotient (IQ), selalu menjadi subjek kajian yang menarik. Individu akan dianggap semakin cerdas jika semakin tinggi skor IQ. Saat ini rata-rata IQ global berada di angka 100. Sebuah studi terkini yang dilansir dari laman International IQ Test (IIT) per 1 Januari 2025 menunjukkan sebaran IQ rata-rata global dari 126 negara.
Riset yang didasarkan pada data sekitar 1.300.000 orang yang mengikuti tes IQ dari seluruh dunia melalui situs web tersebut sepanjang tahun 2024 menempatkan lima negara Asia dengan rata-rata IQ tertinggi.
China memimpin dengan skor rata-rata 107,19, disusul oleh Korea Selatan dengan 106,43. Posisi ketiga ditempati oleh Jepang dengan skor 106,4. Menariknya, Iran masuk dalam lima besar dengan skor 106,3, diikuti oleh Singapura yang mencatatkan skor rata-rata IQ 105,14.
Sayangnya, dalam daftar yang sama, Indonesia berada di peringkat ke-98 dengan skor rata-rata IQ 93,18. Angka ini berada di bawah rata-rata IQ global dan menunjukkan adanya tantangan dalam peningkatan potensi kognitif secara nasional.
Secara umum, data dari studi ini menunjukkan bahwa rata-rata IQ berdasarkan negara cenderung lebih tinggi di benua Asia, khususnya kawasan Asia Timur. Di sisi lain, skor IQ cenderung berada di bawah rata-rata global yaitu di kawasan Afrika Tengah dan Selatan, serta Amerika Latin.
Para ahli mengidentifikasi beberapa faktor yang berpotensi memengaruhi rata-rata IQ suatu populasi seperti penyakit menular cukup memainkan peran signifikan. Penelitian oleh Eppig, et al. (2010) menjelaskan bahwa negara dengan tingkat penyakit menular yang tinggi umumnya memiliki populasi dengan skor IQ rata-rata yang lebih rendah.
Hal ini disebabkan penyakit-penyakit tersebut dapat berdampak negatif pada perkembangan kognitif, terutama pada masa kanak-kanak. Afrika, misalnya, adalah benua yang paling terdampak oleh penyakit menular, yang mungkin berkorelasi dengan temuan rata-rata IQ di beberapa kawasannya.
Kedua, kebiasaan makan juga memiliki kontribusi penting. Studi yang ditulis Khadem, et al. (2024) menunjukkan bahwa anak-anak dengan pola makan bergizi dan seimbang cenderung memiliki IQ lebih tinggi dibandingkan anak-anak dengan asupan nutrisi yang kurang. Oleh karena itu, negara dengan budaya makan yang baik dan tingkat kemiskinan pangan yang rendah cenderung memiliki rata-rata IQ yang lebih tinggi.
Ketiga, kegiatan intelektual yang terstimulasi secara rutin dalam suatu budaya dapat meningkatkan rata-rata IQ. Studi oleh Stegariu, et al. (2022) menemukan bahwa bermain catur secara teratur dapat meningkatkan IQ anak-anak. Ini mengindikasikan bahwa aktivitas yang merangsang otak secara konsisten berdampak positif.
Terakhir, faktor genetika juga tidak dapat diabaikan. Riset oleh Bouchard Jr. (2013) terhadap lebih dari seribu anak kembar menunjukkan bahwa IQ dipengaruhi oleh faktor genetika dengan persentase signifikan, diperkirakan antara 50% hingga 80%.
Pemahaman terhadap faktor-faktor ini, termasuk evaluasi posisi Indonesia saat ini, menjadi krusial dalam merumuskan kebijakan strategis yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan potensi kognitif masyarakat secara luas.