Berdasarkan data Global Slavery Index 2023 oleh Walk Free, produk elektronik, pakaian, dan tekstil merupakan 3 produk utama yang diproduksi melalui perbudakan modern. Alat elektronik menjadi yang utama berkaitan dengan perbudakan modern. Pengeluaran impor produk elektronik global mencapai US$243,6 miliar.
Pakaian menjadi produk kedua yang berhubungan erat dengan perbudakan modern, dengan nilai impor mencapai US$147,9 miliar. Sementara itu, nilai impor produk perbudakan modern lainnya jauh lebih rendah, berada di bawah US$20 miliar, seperti minyak kelapa sawit (US$19,7 miliar), panel surya (US$14,8 miliar), dan tekstil (US$12,7 miliar).
Adapun laporan tersebut mengungkapkan aktivitas negara-negara G20 (kelompok kerja sama multilateral strategis ekonomi internasional) yang berkaitan dengan perbudakan modern. Negara-negara tersebut paling banyak membelanjakan uang negaranya untuk produk-produk yang diproduksi dengan melibatkan praktik yang melanggar hak asasi manusia ini.
Negara dengan pengeluaran terbanyak untuk mengimpor produk yang dihasilkan melalui perbudakan modern adalah Amerika Serikat, yaitu US$169,6 miliar, diikuti oleh Jepang dan Jerman dengan masing-masing pengeluaran sebesar US$53,1 miliar dan US$44 miliar.
Indonesia sendiri menghabiskan US$5,2 miliar untuk mengimpor produk yang dihasilkan melalui perbudakan modern.
Secara keseluruhan, para negara G20 menghabiskan sebanyak US$468 miliar untuk mengimpor produk yang dihasilkan melalui perbudakan modern. Dalam hal ini, pemerintah dan perusahaan perlu melakukan lebih banyak tindakan untuk meminimalisir perbudakan yang ada dalam rantai pasokan mereka.
Dikutip dari laman Anti Slavery, perbudakan modern terjadi saat seorang individu dieksploitasi oleh orang lain untuk keuntungan pribadi atau komersial. Orang-orang diperbudak untuk membuat pakaian, menyajikan makanan, memanen, bekerja di pabrik, atau bekerja di rumah sebagai juru masak, pembersih, atau pengasuh anak. Korban perbudakan modern rentan menghadapi kekerasan atau ancaman, dipaksa berutang, atau paspornya dicabut atau diancam dideportasi.
Mayoritas mereka yang terjebak dalam perangkap ini didorong oleh keinginan untuk lepas dari kemiskinan, memperbaiki kehidupan mereka, atau menafkahi keluarga.
Dikutip dari laman Walk Free, masyarakat sebagai konsumen secara tidak langsung berkontribusi terhadap perbudakan modern melalui produk yang dibeli. Produksi mulai dari pengadaan bahan baku, manufaktur (pengolahan barang mentah ke barang jadi), pengemasan, dan transportasi menciptakan rantai pasokan yang kompleks dan buram, banyak di antaranya melibatkan kerja paksa.
Baca Juga: 50 Juta Orang di Dunia Terjebak dalam Perbudakan Modern, Korut Catat Angka Tertinggi