Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan dari pemerintahan Prabowo-Gibran. Program tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi peserta didik SD, SMP, SMA sederajat, dan santri; anak-anak di bawah lima tahun; serta ibu hamil dan menyusui. Program MBG sudah berjalan sejak bulan Januari 2025 silam.
Berdasarkan laporan APBN Kita Juni 2025 yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, hingga 12 Juni lalu, program MBG telah menelan anggaran sebesar Rp4,4 triliun. Dengan besaran anggaran tersebut, pemerintah telah membangun sebanyak 1.716 satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG). SPPG sendiri merupakan unit layanan yang dikelola oleh mitra Badan Gizi Nasional (BGN) untuk memasak dan mendistribusikan makanan bergizi kepada penerima manfaat.
Sejauh ini sebanyak 4,9 juta jiwa telah menerima manfaat dari program makan bergizi gratis. Pada akhir tahun 2025 pemerintah akan menargetkan 82,9 juta jiwa akan menerima manfaat MBG. Selain itu, pemerintah juga akan menargetkan pembangunan 32 ribu SPPG hingga akhir 2025.
Untuk memastikan keberlanjutan program MBG, Kementerian Keuangan telah menyiagakan anggaran tambahan sebesar Rp100 triliun. Realisasi anggaran MBG pada tahun 2025 akan bergantung pada kecepatan realisasi penerima manfaat oleh BGN.
Meskipun sudah berjalan hampir enam bulan program MBG tidak luput dari berbagai kritik, Pakar Gizi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Toto Sudargo mengatakan bahwa kunci efektivitas MBG berada pada penargetan yang memprioritaskan kepada kelompok yang paling membutuhkan seperti ibu menyusui, anak balita, dan remaja putri.
“Kalau remaja putri bisa ditargetkan di sekolah, sedangkan untuk kelompok ibu hamil dan menyusui bisa melalui kerja sama dengan posyandu.” ujar Toto dalam kanal resmi UGM
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga memberikan setidaknya tiga poin kritik mengenai program MBG yaitu, belum adanya kebijakan yang mengatur tata kelola dan mekanisme pelaksanaan MBG secara komprehensif, perhitungan kebutuhan anggaran yang serampangan, dan mekanisme pengadaan yang tidak transparan