Konflik Agraria di Sektor Perkebunan Didominasi Kasus Kelapa Sawit pada 2024

Pada 2024, konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan dan didominasi letusan konflik perkebunan sawit.

Sebaran Letusan Konflik Agraria Sektor Perkebunan

(Tahun 2024)
Ukuran Fon:

Catatan Akhir Tahun 2024 dari Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan bahwa persoalan agraria masih menjadi salah satu masalah serius di Indonesia. Sejak 2015 hingga 2024, sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik dengan luasan mencapai 7,4 juta hektare (ha) dan berdampak kepada 1,8 juta keluarga. Dari seluruh sektor, perkebunan menjadi penyumbang tertinggi dengan 1.242 konflik, disusul properti, infrastruktur, pertambangan, kehutanan, pertanian-agribisnis, dan fasilitas militer.

Baca Juga: Konflik Agraria di Indonesia Terus Naik, Capai 295 Kasus di 2024

Pada 2024, sektor perkebunan masih menduduki posisi teratas sebagai sumber konflik agraria. KPA mencatat sedikitnya terdapat 111 letusan konflik, meningkat dari 108 konflik pada 2023. Konflik tersebut berlangsung di atas 170.210 ha lahan dan berdampak pada 27.455 keluarga. Dari 111 konflik tersebut, 67% di antaranya terjadi akibat bisnis sawit dengan luas 127.281,30 ha dan korban terdampak mencapai 14.696 keluarga.

Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan komoditas lain seperti karet, tebu, kelapa, cengkeh, serat sisal, hingga hortikultura. Konflik ini sebagian besar dipicu oleh penerbitan atau perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) serta izin lokasi yang sering diberikan tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat dan kondisi ekologis.

Banjir bandang yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini juga bukan hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Ada faktor lain yang membuat kondisinya semakin parah, yaitu kerusakan lingkungan akibat pembukaan hutan dan semakin banyaknya izin konsesi di berbagai wilayah. Hal ini dipertegas oleh Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya dalam konferensi pers virtual.

"Jadi ini bukan hanya sekedar curah hujan yang tinggi, yang ekstrem, tapi ini akibat dari izin konsesi yang terus dibiarkan, semakin masif sejak 10 tahun terakhir," ujarnya mengutip Kompas (4/12/2025).

Situasi ini semakin relevan ketika melihat bencana banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dalam beberapa pekan terakhir. Dua dari tiga wilayah tersebut, yakni Sumatra Utara dan Sumatra Barat, ternyata merupakan provinsi dengan jumlah letusan konflik agraria tertinggi pada 2024.

Di Sumatra Utara, tercatat sedikitnya 32 letusan konflik agraria sepanjang 2024. Sebagian besar dipicu oleh kegiatan perkebunan sawit sebanyak 11 konflik, disusul pembebasan tanah dan lahan untuk proyek infrastruktur sebanyak 10 konflik, serta kehutanan mencatat 9 konflik. Sementara itu, di Sumatra Barat terjadi sedikitnya 12 letusan konflik agraria, dengan 10 di antaranya dipicu oleh operasi perusahaan perkebunan.

Keterkaitan antara konflik agraria dan bencana tersebut bukanlah kebetulan. Ekspansi perkebunan, terutama kelapa sawit, sering mengorbankan kawasan hutan hingga mengurangi tutupan pohon yang berfungsi menyerap dan menyimpan air. Ketika tutupan hutan hilang, kemampuan tanah menahan air ikut melemah. Air hujan akhirnya mengalir lebih cepat ke permukaan sehingga meningkatkan risiko banjir bandang dan longsor.

Banjir bandang yang melanda tiga provinsi tersebut menjadi bukti bahwa konflik agraria tidak hanya soal sengketa lahan, tetapi juga menyangkut keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat.

Baca Juga: 7 Sektor Penyumbang Konflik Agraria Tahun 2024

Sumber: 

https://www.kpa.or.id/publikasi/adakah-reforma-agraria-di-bawah-komando-prabowo/

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook