Konflik Agraria di Indonesia Terus Naik, Capai 295 Kasus di 2024

Konflik agraria di Indonesia terus mengalami peningkatan, bahkan pasca terpilihnya pemerintahan baru.

Jumlah Konflik Agraria di Indonesia 2020-2024

Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria
GoodStats

Konflik agraria menjadi salah satu isu sosial yang tak pernah luput dituntaskan meski telah berganti pemerintahan. Setiap tahunnya selalu terjadi eskalasi letusan konflik agraria di Indonesia. Konflik ini tidak hanya berdampak bagi kelangsungan sumber daya alam, tetapi juga ekonomi, sosial, dan kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mendefinisikan konflik agraria sebagai perselisihan agraria antara orang perorangan dan/atau kelompok masyarakat dengan badan hukum dan/atau instansi pemerintah yang memiliki kecenderungan atau berdampak luas secara fisik, sosial, politis, ekonomi, budaya, sampai dengan pertahanan. 

Umumnya konflik agraria terjadi akibat kesenjangan penguasaan sumber-sumber agraria seperti air, tanah, maupun hutan, dan juga perebutan sumber daya alam. Konflik ini cenderung melibatkan relasi kuasa yang kuat serta tak jarang menggunakan senjata atau sistem militerisme dalam mengambil alih sumber daya alam.

Dalam Siaran Pers Konsorsium Pembaruan Agraria dan Asia NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development yang dirilis pada awal tahun lalu, tercatat bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama negara paling rawan konflik agraria dari enam negara Asia dalam daftar. Urutan berikutnya diisi oleh India, Kamboja, Filipina, Bangladesh, dan Nepal. Hal ini disusun sesuai dengan jumlah konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2023, dengan 241 kasus terjadi di Indonesia, merampas 638.188 hektare tanah pertanian dan wilayah adat.

Sayangnya, menurut Catatan Akhir Tahun 2024 Konsorsium Pembaruan Agraria, terjadi kenaikan jumlah konflik agraria sebesar 21% di tahun 2024 atau setara dengan lebih dari 50 kasus konflik agraria. Konflik tersebut melibatkan kurang lebih 1.113.577,44 hektare tanah yang akhirnya berdampak pada 67.436 keluarga di 329 desa. Dari ribuan korban yang terdampak, terdapat tiga kelompok yang paling terdampak konflik agraria, yakni kelompok petani, masyarakat miskin kota, dan masyarakat adat.

Sebagian besar kasus tersebut terjadi di sektor perkebunan, mencapai 111 kasus dengan 75% di antaranya terjadi di perkebunan kelapa sawit. Selain itu, terdapat 36 kasus lainnya disebabkan oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) yang belakangan sangat gencar dilakukan oleh pemerintah terpilih. Selain sektor perkebunan, konflik agraria juga kerap terjadi di sektor ekonomi seperti pertambangan, food estate, dan kehutanan.

Sementara itu, apabila ditinjau dari sisi geografis, sebagian besar konflik agraria terjadi di Sulawesi Selatan (37 kasus), Sumatra Utara (32 kasus), Kalimantan Timur (16 kasus), Jawa Barat (16 kasus), dan Jawa Timur (15 kasus). 

Konflik agraria tidak hanya berdampak signifikan pada kerusakan lingkungan, melainkan juga kerap menyumbang angka pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Konflik agraria erat kaitannya dengan kriminalitas terhadap masyarakat dan proses pengadilan yang rawan terjadi secara sewenang-wenang tanpa pendampingan hukum.

Baca Juga: Simak Kasus Konflik Agraria Indonesia Sepanjang 2024

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook