Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia per Agustus 2024 mencapai 7.465.599 orang. Gen Z (rentang usia 15-29 tahun) memiliki proporsi terbesar, yaitu 70%, dengan jumlah pengangguran sebanyak 5.188.781 orang.
Apabila dikelompokkan berdasarkan kategori penganggurannya, 78,60% pengangguran Gen Z berstatus sedang aktif mencari pekerjaan. Sementara itu, 17,60% merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan, 2,40% sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan 1,84% mempersiapkan usaha.
Persebaran pengangguran Gen Z berdasarkan kelompok umur didominasi oleh rentang usia 20-24 tahun yang mencapai 2.497.979 orang, atau sekitar 48,14%. Sisanya adalah rentang usia 15-19 tahun yang berjumlah 1.431.960 orang (27,60%) dan rentang usia 25-29 tahun yang berjumlah 1.258.842 orang (24,26%).
Secara keseluruhan, proporsi pengangguran yang mengalami perasaan hopeless mendapat pekerjaan justru bukan Gen Z. Pengangguran Baby Boomer (usia di atas 60 tahun), yang berjumlah 273.406 orang, memiliki proporsi 72% yang memiliki perasaan demikian, dan hanya 15,94% yang aktif mencari pekerjaan.
Sementara itu, pengangguran Gen X (rentang usia 45-59 tahun), yang berjumlah 705.301 orang, memiliki proporsi 41,82% orang yang merasa hopeless. Pengangguran generasi milenial (rentang usia 30-44 tahun), yang berjumlah 1.298.111 orang, memiliki proporsi 35,35% orang yang merasa hopeless.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI menyebutkan bahwa tingkat perasaan hopeless yang dialami oleh pengangguran berkaitan dengan tingkat pendidikan.
"Jadi karena tingkat pendidikan rendah, mereka tak memiliki harapan untuk memiliki pekerjaan. Ini mengindikasikan tingkat pendidikan mereka tak mampu menyiapkan mereka memasuki pasar kerja, baik pendidikan yang rendah maupun kompetensi mereka," ungkap Ida Fauziyah, Menaker RI 2019-2024, pada Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah (17/1/2023).
Ida juga menyebutkan tantangan lainnya dalam menurunkan pengangguran adalah tekanan untuk menciptakan lapangan pekerjaan pada sektor formal, adanya nilai budaya kerja baru seperti work-life balance, serta risiko ketidaksesuaian supply dan demand pekerja akibat digitalisasi.
Baca Juga: Pengangguran Jadi "Pekerjaan" dengan Prevalensi Depresi Tertinggi di 2023