Pendidikan tinggi kini bukan lagi dipandang sebagai kebutuhan, tetapi juga penentu arah karier dan masa depan. Namun, dari beragam jenjang yang tersedia dari Diploma hingga Doktor, tidak semuanya diminati secara seimbang. Muncul pertanyaan: benarkah masyarakat memandang jenjang tertentu sebagai “standar” keberhasilan pendidikan tinggi?
Berdasarkan data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi pada tahun 2024, jenjang Sarjana (S1) menjadi pilihan utama mahasiswa Indonesia. Hingga 2024, jumlah mahasiswa aktif di jenjang S1 tercatat sebanyak 8.291.058 orang, menjadikannya jenjang paling padat di antara semua kategori.
Sebaliknya, jenjang Diploma 1 (D1) dan Diploma 2 (D2) tercatat dengan jumlah yang sangat kecil hanya sebesar 2.171 mahasiswa untuk D1 dan 2.767 mahasiswa untuk D2 di seluruh Indonesia. Bahkan jika digabungkan, jumlah keduanya tidak sampai 0,1% dari total mahasiswa nasional. Ketimpangan ini cukup mencolok, terutama jika dibandingkan dengan jenjang lainnya yaitu jenjang D3 (544.238), D4 (355.567), atau program profesi (321.436).
Minimnya minat terhadap jenjang D1 dan D2 bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah anggapan bahwa jenjang pendek tersebut memiliki daya saing yang rendah di dunia kerja. Di sisi lain, pilihan program studi yang terbatas serta kurangnya dukungan terhadap pendidikan vokasi, turut mempersempit ruang bagi jenjang ini untuk berkembang. Sementara itu, jenjang S1 dianggap lebih menjanjikan, baik dari sisi pengakuan sosial maupun peluang karier.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa sistem pendidikan tinggi Indonesia masih belum benar-benar seimbang dalam distribusi dan persepsi masyarakat. Ketika mayoritas sumber daya dan atensi publik hanya terfokus pada jenjang tertentu, jenjang lain yang sebenarnya punya potensi partisipatif tinggi seperti D1 dan D2 kemungkinan berisiko semakin ditinggalkan.
Ke depan, tantangan dunia pendidikan tinggi bukan hanya soal peningkatan angka partisipasi, tetapi juga pemerataan mutu dan relevansi setiap jenjang. Jika tidak ada intervensi yang lebih serius, ketimpangan ini akan berlanjut dan memperlebar jurang antara kebutuhan industri dengan kompetensi lulusan pendidikan tinggi.
Baca Juga: Deretan Kekhawatiran akan Kebijakan Pendidikan Indonesia