Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, terhitung mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini diberlakukan sebagaimana mandat yang tertuang dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021. Dalam beleid tersebut, kenaikan PPN akan dilakukan secara bertahap, yaitu 11% pada pada 1 April 2022 dan 12% pada 1 Januari 2025.
Apabila besaran tarif ini tetap dijalankan, PPN Indonesia nantinya menjadi salah satu yang tertinggi di ASEAN, berada di puncak bersama Filipina. Saat ini saja, dengan tarif 11% sejak 1 April 2022, Indonesia sudah bertengger di posisi kedua, sebagaimana yang ditunjukkan data PwC.
Mengekori Indonesia, tarif PPN atau value-added tax (VAT) tertinggi selanjutnya dipegang oleh Kamboja, Laos, dan Vietnam, yang persentasenya sama-sama sebesar 10%. Adapun pajak penjualan dan pajak layanan di Malaysia masing-masing sebesar 10% dan 8%.
Lebih lanjut, Singapura memberlakukan pajak barang dan jasa sebesar 9%, sementara PPN di Thailand sebesar 7%. Myanmar tidak menerapkan PPN, tetapi pajak komersial dengan tarif umum sebesar 5%. Terakhir, Timor Leste hanya menarik pajak atas barang impor sebesar 2,5%.
Semenatara itu, wacana ini memancing polemik dari berbagai pihak yang mayoritas menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang keputusan tersebut. Pasalnya, kenaikan tarif PPN sebesar 1% tersebut berpotensi turut melambungkan harga barang di semua lini produksi hingga ke konsumen akhir.
Padahal, daya beli masyarakat saat ini terindikasi melemah. Hal ini tergambar dari laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2024 yang menyusut 0,48% (q-to-q), sebagaimana yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS). Tren konsumsi rumah tangga pun tercatat belum melampaui angka 5% tahun ini. Tidak berhenti sampai di situ, upah minimum juga diprediksi hanya akan naik tipis pada 2025.
“Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan,” tutur Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky, dikutip dari CNBC.
Di lain sisi, Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi sinyal kuat kenaikan PPN menjadi 12% akan tetap diketok palu. Ia menekankan bahwa kebijakan tersebut dibuat dengan mempertimbangkan kesehatan APBN serta kondisi di berbagai sektor.
“Ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok,” terangnya, dikutip dari Tempo.
Baca Juga: Dampak Kenaikan PPN 12% di 2025 terhadap Pengeluaran Rumah Tangga