Bagi banyak masyarakat, istilah konflik agraria mungkin terdengar asing dan terasa jauh dari kehidupan sehari hari. Padahal, persoalan ini berkaitan langsung dengan tanah, yaitu ruang hidup tempat orang tinggal, bekerja, dan mengelola lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Catatan Akhir Tahun 2024 dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 295 letusan konflik agraria dengan luas 1.113.577,47 hektare (ha) yang berdampak pada 67.436 keluarga sepanjang 2024.
Sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik terbesar pada 2024. Sebanyak 111 letusan konflik terjadi akibat ekspansi dan operasi perusahaan perkebunan, termasuk akibat penerbitan atau perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) serta izin lokasi. Angka ini meningkat dari 108 kasus pada 2023. Letusan konflik terjadi di atas 170.210,9 ha lahan dan menyebabkan 27.455 keluarga terdampak.
Baca Juga: Sumatra dan Kalimantan Dominasi Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit 2024
Posisi kedua ditempati pembangunan infrastruktur dengan 79 letusan konflik seluas 290.785,11 ha dan memengaruhi 20.274 keluarga. Dari 79 kasus tersebut, 36 di antaranya berkaitan langsung dengan pengadaan tanah PSN seperti pembangunan kawasan industri, pariwisata, bendungan, bandara, hingga pembangkit listrik.
Sektor pertambangan menempati urutan berikutnya dengan 41 letusan konflik dengan luas 71.101,75 ha dan 11.153 keluarga terdampak terutama dari industri nikel dan batubara. Setelah itu, sektor properti menyumbang 25 letusan konflik agraria dengan luas 92,58 ha dan berdampak pada 941 keluarga. Konflik di sektor ini dipicu proyek perumahan, klaim aset pemerintah daerah, pembangunan kawasan pabrik, serta pusat perkantoran. Sektor kehutanan juga mencatat 25 letusan konflik dengan luas 379.588,75 ha dan berdampak pada 7.056 keluarga.
Sementara itu sektor pertanian dan agribisnis mencatat 8 letusan konflik dengan luas 200.581,18 ha dan berdampak pada 250 keluarga. Pemicu utama konflik berasal dari proyek Food Estate, serta program ketahanan pangan yang melibatkan TNI dan Polri. Di posisi terakhir, fasilitas militer mencatat 6 letusan konflik di atas lahan seluas 1.217,20 ha dan melibatkan 307 keluarga.
Konflik-konflik ini tergolong konflik agraria struktural, yaitu konflik yang dipicu kebijakan atau keputusan pejabat publik, melibatkan lahan dalam skala luas, serta berdampak sosial, ekonomi, politik, ekologi, dan budaya. Konflik ini muncul akibat praktik perampasan tanah dan sumber daya alam oleh pemerintah, BUMN, maupun perusahaan swasta, yang kerap difasilitasi regulasi dan kepentingan bisnis. Masyarakat terdampak meliputi petani, nelayan, masyarakat adat, hingga kelompok marjinal. Karena itu, laporan tidak memasukkan sengketa pertanahan individual seperti hak waris atau konflik antar swasta.
Data tersebut dihimpun melalui pengaduan masyarakat, investigasi lapangan, pemantauan media, hingga respon darurat Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). Semua informasi kemudian diverifikasi melalui pemeriksaan ulang dan pembandingan data, meskipun KPA mengakui masih ada keterbatasan jangkauan dan kelengkapan data.
Baca Juga: 5 Provinsi dengan Aduan Konflik Agraria Terbanyak 2020-2024
Sumber:
https://www.kpa.or.id/publikasi/adakah-reforma-agraria-di-bawah-komando-prabowo/