Konflik agraria masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Di tengah percepatan pembangunan, banyak masyarakat kehilangan tanah, ruang hidup, bahkan sumber penghidupannya. Konflik agraria sendiri dapat dipahami sebagai kondisi ketika dua pihak atau lebih baik individu maupun kelompok memperjuangkan kepentingan atas objek yang sama, seperti tanah dan segala unsur yang melekat di dalamnya, termasuk air, tanaman, tambang, hingga ruang udara di atasnya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (UUPA) Pasal 1 Ayat (1)-(5) menegaskan bahwa sumber-sumber agraria mencakup bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sumber ini merupakan bagian penting dalam pemenuhan hak asasi manusia karena menjadi ruang hidup sekaligus sumber penghidupan masyarakat. Tidak heran, persaingan dalam penguasaan dan pemanfaatannya kerap memicu sengketa bahkan kekerasan, sehingga menghambat pemenuhan HAM dan mengganggu pembangunan yang berkeadilan.
Dalam praktiknya, konflik agraria sering berkembang menjadi konflik agraria struktural, yakni pertentangan klaim berkepanjangan mengenai siapa yang berhak mengakses tanah, sumber daya alam, dan wilayah tertentu. Konflik jenis ini umumnya melibatkan masyarakat perdesaan berhadapan dengan badan penguasa atau pemegang konsesi dalam sektor produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
Data Komnas HAM melalui laporan Peta Jalan Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa terdapat lima pihak yang paling banyak diadukan dalam konflik agraria sepanjang 2020–2024.
Selama lima tahun terakhir, korporasi menjadi pihak yang paling sering diadukan dengan total 854 laporan. Pada 2020 tercatat 172 aduan, kemudian turun sedikit menjadi 162 aduan pada 2021. Tahun 2022 menjadi puncak dengan 191 aduan, yang kemudian kembali menurun menjadi 183 aduan pada 2023 dan 146 aduan pada 2024.
Di posisi berikutnya terdapat pemerintah daerah dengan total 512 aduan. Pada 2020 terdapat 104 aduan, diikuti 100 aduan pada 2021. Angka ini turun menjadi 96 aduan pada 2022, namun melonjak menjadi 115 aduan pada 2023,dan kembali menurun menjadi 97 aduan di 2024.
Pemerintah pusat menempati posisi ketiga dengan total 458 aduan selama periode tersebut. Pada 2020, pemerintah pusat menerima 90 aduan, disusul 97 aduan pada 2021. Pada 2022 jumlahnya meningkat cukup besar menjadi 109 aduan, lalu turun menjadi 83 aduan pada 2023 dan 79 aduan pada 2024. Selanjutnya untuk aparat keamanan, Polri menerima total 181 aduan, dengan angka tertinggi pada 2024 sebanyak 44 aduan. Sementara itu, TNI mencatat 128 aduan selama lima tahun terakhir.
Data ini menegaskan bahwa konflik agraria bukan hanya soal sengketa tanah, tetapi isu struktural yang melibatkan berbagai institusi dan menyangkut hak hidup serta keadilan masyarakat. Penyelesaiannya membutuhkan upaya yang menyeluruh, mulai dari perbaikan kebijakan, pengelolaan lahan yang adil, hingga perlindungan hak masyarakat agar konflik serupa tidak terus berulang.
Baca Juga: Konflik Agraria di Indonesia Terus Naik, Capai 295 Kasus di 2024
Sumber:
https://dataham.komnasham.go.id/home/data_detail/e0ec453e28e061cc58ac83143f91dc2f3f0