Kementerian Kesehatan tengah mengkaji Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang membahas tentang pengamanan dan pengendalian produk rokok dan tembakau, salah satunya melalui penyeragaman kemasan rokok polos atau tanpa identitas merek.
RPMK merupakan aturan pelaksana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berlaku sejak 26 Juli 2024 lalu.
Aturan tersebut memuat panduan standarisasi kemasan rokok yang mesti dipenuhi produsen atau importir produk rokok dan tembakau. Standarisasi yang dimaksud terkait desain dan tulisan pada kemasan.
Desain kemasan harus memenuhi kriteria bentuk, bahan, dan warna. Sementara tulisan yang boleh dicantumkan hanya berupa nama merek, varian, identitas produsen, dan peringatan kesehatan. Peraturan tersebut melarang penyertaan gambar dan tulisan selain yang telah ditetapkan.
Peraturan yang diduplikasi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ini sekaligus menggarisbawahi bahwa kemasan rokok polos atau sesuai standar bukan berarti kemasan tersebut berwarna putih. Sebagaimana rekomendasi FCTC, kemasan rokok tidak diperbolehkan menampilkan identitas merek, seperti logo dan elemen desain.
Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), Mouhamad Bigwanto menjelaskan bahwa kebijakan ini ditujukan untuk meminimalisasi promosi produk. “Karena itu tujuannya mengurangi ketertarikan produk pada anak dan remaja,” terangnya, dikutip dari Tempo.
Langkah preventif untuk menekan dampak rokok terhadap kesehatan melalui penerapan kemasan rokok polos ini nyatanya sudah banyak dipertimbangkan di sejumlah negara. Berdasarkan laporan Canadian Cancer Society (CCS), sebanyak 25 negara dan teritori tercatat tengah mengadopsi, 14 dalam proses penerapan, lalu 3 sudah menerapkan kebijakan kemasan polos. Australia adalah negara pertama yang menerapkan kebijakan tersebut, yaitu sejak 2012. Inggris dan Prancis kemudian menyusul pada 2016.
“Kini semakin banyak negara yang menerapkan langkah tersebut. Perkembangan ini sangat menggembirakan karena kemasan polos merupakan langkah utama untuk melindungi kaum muda dan mengurangi penggunaan tembakau,” ungkap Rob Cunningham, Analis Kebijakan Senior, CCS, dikutip dari Tempo.
Di lain sisi, kendati dilirik banyak negara, rencana pemberlakuan kebijakan ini di dalam negeri malah memancing kritik dari berbagai pihak. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut hal ini mendorong perokok untuk memilih rokok yang lebih murah (downtrading). Lebih parah lagi, konsumen bisa beralih ke rokok ilegal dan secara bersamaan permintaan terhadap rokok legal pun menurun drastis.
Kondisi ini berpotensi merampas Rp95,6 triliun penerimaan negara dan mengancam 1,22 juta pekerja di sektor terkait. Belum lagi dampak ekonomi yang hilang ditaksir mencapai Rp182,2 triliun.
Ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan juga menyoroti persoalan ini, menyebut kebijakan ini bisa mencekik bisnis industri hasil tembakau (IHT), menimbulkan persaingan dagang yang tidak sehat, meningkatkan daya tarik rokok ilegal, serta menciptakan kemiskinan baru lantaran jutaan tenaga kerja yang bergantung pada IHT tidak lagi terserap.
Melihat banyaknya kontra yang membayangi, Snapcart melakukan survei untuk mengeksplorasi sentimen orang Indonesia, baik perokok maupun nonperokok, terhadap kebijakan ini. Menariknya, hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden mendukung penerapan kemasan rokok polos.
Dari total 1.400 responden, sebanyak 58% responden menyambut baik. Lebih dari separuh (54%) perokok bahkan mengamini kebijakan ini. Sebaliknya, responden yang menentang regulasi ini hanya 20%, sementara sisanya (22%) mengaku tidak peduli.
Ketika ditanya alasan menyetujui kemasan rokok polos, sebagian besar responden (42%) mengaku akan mendukung kebijakan pemerintah asalkan mendatangkan kebaikan bagi banyak orang. Mereka juga berharap langkah ini mampu mengurangi konsumsi rokok (34%) dan meminimalisasi perokok baru di tengah masyarakat (10%).
Adapun responden yang tidak setuju berargumen bahwa kebijakan ini membuka peluang produsen rokok ilegal melakukan penipuan dengan mengemas ulang produknya ke dalam kemasan polos tanpa ketahuan (30%), belum tentu berdampak positif terhadap kesehatan publik secara umum (21%), dan menyulitkan perokok memilih rokok yang hendak dibeli (18%).
Namun, sebagian besar orang Indonesia menilai bahwa meningkatkan pajak tembakau merupakan langkah paling efektif untuk menjaga kesehatan masyarakat. Opsi tersebut dinilai tidak terlalu merugikan banyak pihak jika dibandingkan dengan memberlakukan kemasan rokok polos.
Baca Juga: Tren Remaja Perokok Konstan selama 10 Tahun Terakhir