Sepanjang tahun 2024, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat setidaknya terdapat 121 konflik yang melibatkan masyarakat adat maupun wilayah adat di seluruh Indonesia. AMAN mendata terdapat kurang lebih 2.824.118,36 hektare tanah adat di 140 komunitas adat yang dirampas untuk serangkaian pembangunan infrastruktur dan investasi.
Perampasan wilayah adat berkaitan erat dengan kriminalisasi dan pelanggaran hak asasi manusia karena relasi kuasa yang kuat antara masyarakat adat dengan pemerintah atau swasta sebagai pemilik dari proyek pembangunan atau investasi. Hal ini juga disebabkan oleh minimnya pengakuan pemerintah terhadap masyarakat hukum adat dan sulitnya pendaftaran tanah atau wilayah adat.
Akibatnya terjadi 121 letupan konflik di berbagai sektor pembangunan dan investasi, meliputi 58 konflik dengan konsesi perkebunan, 29 konflik dengan konsesi tambang, 14 konflik dengan proyek infrastruktur, 9 konflik dengan kawasan hutan, 5 konflik dengan industri energi, 4 konflik dengan proyek pariwisata, dan 2 konflik dengan konsesi pertanian atau peternakan.
Masing-masing konflik di atas memiliki satu ciri yang sama, yakni terjadi di wilayah adat atau tanah ulayat. Salah satunya kerap terjadi pada perkebunan kelapa sawit di Kalimantan yang berujung pada kriminalisasi beberapa tokoh adat. Eskpansi kelapa sawit juga terjadi di wilayah lain seperti Jambi sampai dengan Papua yang berujung pada hilangnya hutan adat.
Sementara itu, di sektor pertambangan, perampasan wilayah adat menjadi salah yang terparah di akhir 2024 sampai pertengahan 2025. Salah satunya terjadi pada 11 orang masyarakat adat yang melakukan protes terhadap pertambangan nikel di Halmahera Timur. Protes yang semula damai berujung memburuk ketika serangkaian aparat kepolisian menggunakan kekerasan fisik, penembakan gas air mata, intimidasi, dan berujung pada kriminalisasi beberapa masyarakat adat di Halmahera Timur.
Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi pada masyarakat adat di Muaro Langkap, Kerinci, Jambi maupun masyarakat Rempang. Masyarakat di wilayah tersebut mendapat ancaman akibat memprotes kehadiran industri energi di wilayah tersebut. Pembangunan PLTA, PLTS, maupun geothermal kerap memakan hutan adat yang menjadi tempat masyarakat tersebut bertahan hidup dan memenuhi kehidupan sehari-hari.
Tak hanya itu, pembangunan Ecocity di Rempang juga berdampak signifikan pada kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Mulai dari polusi udara, kekeringan, kerusakan tanah akibat metode slash-burning yang kerap digunakan dalam pembukaan perkebunan kelapa sawit, sampai dengan masalah kesehatan masyarakat adat.
Baca Juga: Kerusakan Hutan Tropis Capai Rekor Tertinggi pada 2024