Ukuran ketimpangan gender menjadi salah satu aspek penting dalam pembangunan manusia. Kondisi tersebut diukur melalui Indeks Ketimpangan Gender (IKG), yang menggambarkan besarnya kerugian yang terjadi dalam pembangunan manusia akibat adanya ketimpangan gender.
Dalam perhitungannya, IKG menggunakan tiga dimensi, yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja.
IKG memiliki nilai antara 0 sampai dengan 1. Angka 0 mencerminkan adanya kesetaraan gender yang sempurna yang menyebabkan pencapaian pembangunan ada pada tingkat optimalnya. Sedangkan angka 1 mencerminkan kesenjangan gender yang sempurna yang menyebabkan kerugian total dalam pencapaian pembangunan akibat adanya ketidaksetaraan gender tersebut.
Dengan demikian, IKG yang semakin kecil menunjukkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan yang semakin rendah (semakin membaik). Sebaliknya, nilai IKG yang semakin besar menunjukkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan yang semakin tinggi (semakin memburuk).
Melalui laporan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) 2024 yang dirilis tahunan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Kota Bukittinggi yang terletak di Sumatra Barat (Sumbar) menjadi daerah dengan IKG terendah, yaitu dengan nilai sebesar 0,080.
Posisi berikutnya masih ditempati oleh kota dari Sumbar, yaitu Kota Padang Panjang dengan IKG sebesar 0,081.
Peringkat ketiga sebagai wilayah dengan IKG terendah pada 2024 adalah Kota Madiun dari Jawa Timur (Jatim) dengan IKG senilai 0,093 kemudian disusul oleh Sleman dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan IKG sebesar 0,112.
Terakhir, Kota Kediri dari Jatim mendapat IKG sebesar 0,120, menjadikannya sebagai daerah dengan IKG terendah kelima pada tahun 2024
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA) RI, Veronica Tan menilai perlunya komitmen dan kolaborasi terhadap penerapan kesetaraan gender sebagai pencerminan budaya yang berpihak pada keadilan.
“Keberhasilan pembangunan manusia sangat bergantung pada kebijakan yang tepat dan berkelanjutan. Kebijakan tidak bisa hanya bersifat top-down, melainkan harus inklusif. Melibatkan partisipasi aktif dari komunitas, masyarakat sipil, dunia usaha, dan terutama dunia akademik. Pendekatan ini esensial agar setiap kebijakan yang dirumuskan mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, sehingga dampaknya terasa langsung di lapangan,” ucapnya, Sabtu (19/7/2025).
Menurutnya, penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah bagi perempuan, meliputi penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) women-friendly, seperti cuti melahirkan, fasilitas menyusui, hingga kebijakan anti diskriminasi dan anti kekerasan seksual.
Baca Juga: Indeks Kesetaraan Gender Indonesia Kembali Naik pada 2025
Sumber:
https://www.bps.go.id/id/publication/2025/07/31/83ae68c36720895d3895ec58/indeks-ketimpangan-gender-2024.html
https://www.kemenpppa.go.id/siaran-pers/wamen-pppa-kolaborasi-kunci-wujudkan-kesetaraan-gender-dan-perlindungan-anak