Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi isu serius di Indonesia. Meski berbagai kampanye kesetaraan dan perlindungan hukum telah digaungkan, faktanya banyak perempuan masih menjadi korban, baik di ruang privat seperti rumah tangga maupun ruang publik seperti transportasi umum dan tempat kerja. Isu ini tidak hanya menyentuh individu, tapi juga mencerminkan persoalan struktural dalam tubuh masyarakat yang sampai saat ini layak untuk didengar dan dibicarakan.
Berdasarkan data terbaru dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), 1 dari 10 perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan sepanjang hidupnya.
Survei ini dilaksanakan di 178 kabupaten/kota dengan melibatkan 14.240 rumah tangga sebagai responden, yang semuanya adalah perempuan berusia 15 hingga 64 tahun. Dengan cakupan yang sangat luas, data ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di banyak tempat, dan dialami oleh perempuan dari berbagai usia, latar belakang, dan wilayah. Ini bukan masalah yang terjadi sesekali atau hanya di daerah tertentu, melainkan persoalan nyata yang dihadapi banyak perempuan di seluruh Indonesia.
Bentuk kekerasan yang dialami perempuan pun beragam. Kekerasan fisik dan seksual menjadi sorotan utama, namun tidak berarti bentuk kekerasan lain lebih ringan. Kekerasan emosional tetap bertahan di angka 11,3% sejak 2021, sementara kekerasan ekonomi masih dialami oleh 15% perempuan, menurun dari 17,9% pada 2021. Pembatasan aktivitas menjadi jenis kekerasan tertinggi pada 2024, yaitu sebesar 30,3%, meski menurun dari 42,3% pada 2016.
Kelompok perempuan yang paling rentan terhadap kekerasan meliputi remaja, ibu rumah tangga, serta pekerja sektor informal. Kekerasan tidak hanya terjadi dalam rumah tangga, tetapi juga di tempat kerja, transportasi umum, bahkan di ruang digital seperti media sosial dan aplikasi pesan instan. Pola ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan harus diberikan secara menyeluruh, lintas sektor, dan lintas ruang.
Pemerintah sendiri telah mengambil langkah melalui pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pembentukan lembaga layanan seperti P2TP2A, serta penyediaan call center pengaduan kekerasan. Namun, efektivitas kebijakan ini masih sangat bergantung pada akses, keberanian korban untuk melapor, serta dukungan dari lingkungan terdekat.
Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya soal moral individu, tetapi soal struktur sosial yang belum sepenuhnya adil. Data SPHPN 2024 kembali menegaskan bahwa masih banyak perempuan Indonesia yang hidup dalam ketakutan dan ketidaksetaraan. Untuk itu, diperlukan kesadaran kolektif dan keberanian serta dukungan yang terbuka untuk korban guna mencegah kekerasan sejak sedini mungkin, baik di rumah, sekolah, tempat kerja, maupun ruang publik lainnya.
Baca Juga: Pemetaan Kekerasan Berbasis Gender 2024