UNICEF menyatakan penyebab utama kemiskinan pangan pada anak bukanlah orang tua, melainkan kegagalan sistem dalam memperbaiki akses pada makanan bergizi, mengedukasi masyarakat terkait pangan anak, dan mengatasi pengaruh konflik lokal dan global pada krisis ekonomi.
Akibatnya, kemiskinan pangan anak yang parah tak hanya terjadi pada keluarga kurang mampu, tapi juga pada keluarga kaya. UNICEF menerbitkan 17 daftar negara dengan kemiskinan pangan anak yang parah di Asia Pasifik.
Peringkat pertama dalam daftar diraih Kiribati dengan total 35% anak mengalami kemiskinan pangan yang parah. Dengan jumlah yang sama (35%), Myanmar menyusul di posisi kedua.
Timor Leste menempati posisi ketiga sebab ada 30% anak yang mengalami kemiskinan pangan parah di sana, sedangkan posisi keempat diraih Kepulauan Marshall dengan jumlah 29%.
Berikutnya, Papua Nugini menempati posisi kelima dengan jumlah 26% anak alami kemiskinan parah. Dua negara, Samoa (23%) dan Laos (21%), jadi negara terakhir yang persentasenya berada di angka 20-an.
Selanjutnya, hanya ada satu negara dengan proporsi antara 15-20%, yakni Filipina. Sebanyak 18% anak di negara tersebut mengalami kemiskinan pangan yang cukup parah.
Dari 17 negara, tujuh di antaranya memiliki proporsi antara 10-15%, yaitu Tuvalu (14%), Kamboja (14%), Tonga (13%), Indonesia (12%), Tiongkok (10%), Thailand (10%), dan Mongolia (10%).
Indonesia peringkat ke-12 dengan 12% anak mengalami kemiskinan pangan parah. Data mengungkap bahwa makanan mayoritas anak-anak tersebut berbahan pokok tepung, terkadang juga ditambah asi.
Terakhir, dua negara dengan proporsi tak sampai 10% menutup daftar tersebut, yakni 9% anak di Vietnam dan 8% anak di Fuji.
Untuk mengatasi kemiskinan pangan ini, UNICEF membuat sistem yang melibatkan koordinasi dan sinergi dalam konteks perkembangan dan kemanusiaan. Total ada lima hal dalam sistem tersebut.
Pertama, pemberantasan kemiskinan anak jadi kebijakan yang harus dilakukan. Kemudian, mendorong kemudahan akses anak pada makanan yang bergizi, beragam, dan sehat. Ketiga, mengoptimalkan sistem kesehatan untuk menangani masalah gizi anak.
Berikutnya, UNICEF mendorong pengaktifan sistem perlindungan sosial untuk mengatasi masalah pangan pada keluarga kurang mampu. Terakhir, memperkuat sistem data untuk menilai tingkat keparahan kemiskinan pangan anak dan melacak pemicunya.